Pada hari peringatan, sebagai waktu untuk meneliti kembali, kita inginkan juga meneliti diri sendiri. Sebagai bagian dari bangsa adakah selama ini kita cukup berbuat untuk sesama, untuk daerah yang kita diami semampu kita?
Mungkin peringatan ini bukanlah tentang kemerdekaan Indonesia. Tapi tentang kemerdekaan tiap diri kita. Tentang kita sebagai bangsa yang hidup pada sebuah Negara. Jika memang kita masih setuju pada filsuf Plato bahwa negara adalah tempat tinggal bersama. Seperti rumah.
Sebagai rumah, yang akan ditinggali pula oleh anak cucu dan keturunan turun temurun, kita akan peduli untuk menjadikannya terbaik. Bukan acuh tak acuh dan menjadikan rumah seperti hotel yang dikunjungi sesaat saat liburan. Bukan dengan hanya menyerahkan tanggung jawab seutuhnya pada pelayan yang kita sebut pemerintah. Kemudian sekedar menghujat, menyalahkan tanpa ikut berperan.
Lalu, dalam buku peringatan enam bulan kemerdekaan itu pula, Hatta menulis: “Enam bulan belum berarti apa-apa dalam sejarah suatu bangsa, yang biasanya dibilang dengan puluhan tahun”.
Membaca itu kita pun berpikir, 70 tahun sudah lamanya, apakah sejarah bangsa ini sudah patut kita banggakan? Apakah sudah cukup aman untuk kita wariskan pada anak cucu kita? Lagi-lagi ini mungkin bukan tentang umur. Tapi tentang kita yang terus berupaya untuk selalu memperingati diri dan terus meneliti. Tentang kita yang terus berupaya untuk selalu merdeka.