Kalau di sepak bola, pilpres RI 2024 mungkin ibarat turnamen liga local atau nasional, bukan kejuaran dunia. Juara pilpres kali ini adalah klub kaya, yang punya segalanya. Klub ini punya dana melimpah, yang mampu beli pemain-pemain terbaik. Klub tersebut juga punya kuasa atas induk organisasi (PSSI-nya partai politik), sehingga aturan-aturan pertandingan bisa diatur, direkayasa agar bisa menguntungkan si klub.
Wasit dan panitia pertandingan juga dipilih oleh si klub, sehingga bisa diatur. Bisa jadi kondisi lapangan pertandingan juga bisa disetting, sehingga kalau lawan mau nyerang, mereka akan mentok di luar area penalty si klub kaya. Paling hanya bisa melewati garis tengah lapangan sedikit. Kalau mau bikin goal, tim lawan harus punya pemain dengan skill individu luar biasa, dan team work mumpuni.
Sebaliknya, kalo pemain dari si klub kaya masuk ke area lawan, lapangannya tiba-tiba jadi kondusif. Masuk area penalty jadi gampang. Akibatnya gawang lawan begitu mudah dijebol. Kalaupun pertahanan lawan kuat, eh si wasit kok ada saja celah untuk memberikan free kick atau bahkan penalty untuk si klub kaya. Akibatnya pertahanan lawan jebol juga.
Si klub kaya juga punya privilege khusus sebelum pertandingan. Kalau mau Latihan selalu bisa menggunakan lapangan terbaik, termasuk melakukan adaptasi di lapangan yang dijadikan arena pertandingan. Sebaliknya lawan selalu dipersulit, apalagi mau uji coba arena bertanding. Akibatnya bisa ditebak. Kalah telak atau paling banter seri. Jadi jangan heran kalau kemudian si klub kaya ini akhirnya jadi juara liga.
Kini terbayang wajah Anies dan tim AMIN, yang dalam setahun terakhir telah berjuang keras tanpa kenal Lelah saat berkampanye. Terbayang wajah anak-anak muda Indonesia di berbagai kota, yang sebelumnya tampak begitu antusias saat menghadiri acara-acara kampanye seperti “Desak Anies”. Terbayang pula wajah warga Indonesia lainnya, figur terkenal ataupun rakyat jelata, simpatisan ataupun pendukung, tua muda, kaya miskin, yang hadir di berbagai acara kampanye AMIN.
Masih jelas dalam ingatan saya saat ikut hadir di acara kampanye terakhir AMIN di JIS. Saya saksikan langsung banyak ibu-ibu bahkan kakek nenek yang rela berdesak-desakan di area JIS. Sejak tengah malam mereka berduyun-duyun mendatangi area JIS, yang sudah penuh sesak dengan kendaraan dan manusia. Mau lewat aja susah. Apalagi jalan sedikit becek dan tergenang air karena guyuran hujan sejak tengah malam. Namun itu tidak menghalangi mereka untuk datang ke JIS. Mereka terlihat bahagia meskipun banyak kendala.
Pasti banyak yang kecewa, tidak puas. Kok bisa harapan mereka, idola mereka “AMIN” kalah begitu telak. Padahal pasangan 02 yang menang quick count itu banyak minusnya. Jawabannya mungkin terasa klise, “Iya begitulah kualitas rakyat Indonesia. Pemimpin kan cerminan rakyatnya. Kalau kualitas rakyatnya masih payah, maka Allah kasih pemimpin yang juga payah.”
Rakyat Indonesia ternyata kebanyakan lebih menyukai “joget gemoy” ketimbang “Desak Anies” atau acara kampanye adu gasasan berkualitas lainnya.
Buat anak-anak muda simpatisan 01. Kalian jangan kecewa. Kenyataan pahit saat ini mudah-mudahan jadi pengalaman dan pembelajaran berharga bagi kalian. Masa depan bangsa ini ada di tangan kalian. Kepedulian dan upaya kalian selanjutnya akan menentukan nasib Indonesia 10 tahun, 100 tahun bahkan 1.000 tahun ke depan.
Saat catatan ini dibuat, proses real count masih berlangsung di KPU. Entah apa hasilnya, tapi kemungkinan besar nampaknya tidak akan berubah banyak. Saya bukan pesimis tapi hanya tidak mau terlalu berharap bahwa AMIN akan menang.
Bagi saya pribadi kalaupun tidak jadi presiden, Anies Baswedan tidak gagal. Setidaknya beliau telah membuka jalan. Membuka cakrawala kita dalam berpolitik. Ini baru Langkah awal, dari perjalanan demokrasi Indonesia yang adil dan beradab. Kemenangan hanya soal waktu.