Sering saya baca dan dengar penuturan para pejabat tinggi negara, para ahli, para mahasiswa, aktivis LSM dan bahkan orang-orang awam tentang korupsi di daerah sebagai keniscayaan belaka. Anda juga pernah membaca atau mendengarnya, bukan?
Karena pemilihan langsung kepala daerah itu sudah lebih bersifat transaksional dan juga berbiaya sangat besar, maka muncullah “kelaziman baru”, yakni jual-beli jabatan itu. Ini kemudian melengkapi keterangan tentang apa yang kerap kita dengar ditamsilkan dengan sebutan “Raja-Raja Kecil di Daerah“.
Setelah menang, kata mereka, target pengembalian modal yang paling aman, ya melalui jual-beli jabatan dan korupsi APBD. Bahkan mungkin hari-hari pertama menduduki jabatan pikiran lebih tertuju kepada upaya memperoleh uang dari penjualan jabatan, karena sifatnya yang “lebih aman”.
Kalau begitu, bisakah Anda menaksir kira-kira berapa harga sebuah jabatan kepala dinas atau SKPD atau di rentang mana angka yang lazim? Apa yang membedakan harga antara satu dan lain jabatan kepala dinas atau SKPD? Kira-kira jabatan kepala dinas atau SKPD mana yang paling tinggi harganya? Lebih “gila” di provinsi atau di kabupaten/kotakah jual beli jabatan itu? Lebih seru di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawakah fenomena itu berlangsung?
Karena pada umumnya kepala daerah itu selalu menonjolkan “jaim” alias jaga image, apakah ia akan dengan sendiri tanpa bantuan dan tanpa kompromi dengan siapa pun menentukan harga dan menerima bayaran untuk penjualan sesuatu jabatan? Jika ia berteman, apakah ia memilih teman separtainya atau orang paling dekat di antara tim pemenangannya?
Mungkinkah si kepala dinas atau SKPD itu membeli jabatannya tidak memberatkan APBD kelak? Selain jual beli jabatan, kira-kira sumber mana lagi yang kerap dieksploitasi untuk pengembalian modal politik? Jika bernasib sial si kepala dinas atau SKPD masuk penjara karena korupsi, lazimkah kasusnya berhenti sampai pada dirinya dan tidak melibatkan atasannya tempat pemberian sesembahan dalam rangka pembelian jabatan itu?
Apakah semua jabatan (di bawah kepala dinas atau SKPD) juga diperjual-belikan dan bagaimana praktiknya? Apakah penjualnya masih kepala daerah atau sudah dianggap menjadi “wewenang” kepala dinas atau SKPD yang membeli jabatannya dari kepala daerah? Selain jabatan kepala dinas atau SKPD di daerah tertentu masih terdapat perusahaan daerah seperti perusahaan yang mengelola air bersih, dan lain-lain. Bagaimana tarif yang umum untuk menjadi bos di sini? Paling menarik pula menelisik kinerja BUMD ini dalam kaitannya dengan potensi buruknya yang kerap ditengarai menjadi ATM bagi pejabat dan tempat berkumpulnya orang-orang titipan dari berbagai penjuru yang menyebabkan ia (BUMD itu) tak dapat beroperasi dengan efisien karena kelelahan dengan beban berat?
Dalam praktiknya, jual-beli-jabatan itu tentu relatif aman dari pantauan, karena berapa pun nilai traksaksinya tidak akan ketahuan oleh publik, kecuali sejak dini lembaga super seperti KPK berupaya memantau, antara lain memasang penyadapan pembicaraan dan upaya-upaya intelijen lainnya.
Tetapi KPK itu tentu tidak akan mampu, dan prioritas kerjanya pun bukan itu pula. Jadi, praktik jual-beli jabatan itu cukup aman, tidak seperti korupsi APBD yang bisa dievaluasi dan memang wajib dievaluasi secara berkala oleh negara melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meskipun jika lembaga ini benar, tentu bisa membuat korupsi turun menjadi nol % di negeri ini.
Satu-satunya peluang terbukanya informasi jual-beli jabatan ke ranah publik pastilah ketika ada persaingan di antara para pelamar dan hanya satu tentunya yang memenangkan. Sisanya merasa sudah memberi tetapi tidak paham mengapa kalah saing. Tender seperti ini bisa menimbulkan dampak, tetapi meskipun secara rahasia dibeberkan kepada publik tentulah akan sangat sulit membuktikan kebenarannya secara hukum. Jadi, sekali lagi, ini jalur paling aman mengembalikan modal pemenangan.
Korupsi itu memang sebuah aktivitas terlarang yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi amat rahasia. Itu yang menyebabkan seorang koruptor paling jahat sekalipun bisa menjadi tokoh terkemuka dalam moral di tengah masyarakat.
Tetapi sejauh ini, tak juga terlukiskan secara komprehensif peta korupsi daerah itu. Tak cuma jual beli jabatan dan memberatkan APBD, bukan? Anehnya, sudah sedemikian sulitnya pun, dalam hati masih tergoda juga untuk memperluas.
Apakah setiap distribusi jabatan/kekuasaan akan selalu didasari oleh transaksi serupa, misalnya untuk jabatan menteri, Sekjen, Dirjen, dan jabatan-jabatan strategis lainnya pada sebuah kementerian negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?
Kalau di dunia sipil sudah menjadi rahasia umum tuduhan jual-beli jabatan itu, bagaimana dalam Kepolisian dan Militer?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H