Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

"Mindfulness" dan Kesediaan Kita Melambat dalam Hening

18 Mei 2021   07:21 Diperbarui: 18 Mei 2021   18:58 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intinya, sadar terhadap apa yang terjadi di dalam diri kita dan apa yang sedang kita lakukan.

Saat meditasi, kita diminta mengambil jeda sejenak untuk menghayati aliran masuk-keluar napas. Sadari momen saat ini (present), cukup amati pikiran kita tanpa penghakiman dan penilaian. Lalu, lepaskan.

Tampaknya sepele. Namun, bagi orang sejenis saya yang pikirannya sering penuh dan harus berlari dalam jagat digital serba cepat, praktik mindful cukup sulit dilakoni terutama saat permulaan dan saat mental tidak stabil.

Kala saya jatuh, laku mindfulness menyelamatkan saya. Pada momen demikian, saya baru bisa memaknai betapa berharganya waktu untuk menepi, melambat, dan menyendiri dengan genap. 

Perlahan, saya belajar tentang bagaimana menyatukan pikiran dan tubuh. Sekali lagi, being in the present moment--agar tak terjebak kecemasan tentang masa lalu dan masa depan.

Kendati saya masih menyimpan sangsi setelah menuliskan ini. Saya bertanya ke dalam diri, mampukah saya menyeimbangkan hidup cepat sekaligus lambat. Saat saya terpaksa berlarian kencang dan terengah-engah, kuasakah saya menarik rem diri dan memberi ruang hidup untuk melambat?

Soalnya, dalam dunia urban, kita kerap amnesia dengan opsi hidup melambat. Padahal, melambat adalah sumber kreativitas. Padahal, melambat berarti sadar dan menghayati setiap jengkal hidup yang dilakoni.

Baca juga: Sebuah Narasi Melawan Alienasi pada Kaum Urban dalam Little Forest dan Only Yesterday

Image by Jackie Samuels from Pixabay
Image by Jackie Samuels from Pixabay
Saya kembali menatap kanvas lettering yang bertengger di dinding. 'Just breathe,' bisiknya kepada saya. Saat itu, saya menutup laptop dan tak jadi menulis apa pun. Saya memilih jeda.

Saat mengingat napas sembari bernapas dengan tenang, saya terngiang bunyi fonetis dalam bahasa Jawa. Urip, irup, urub.

Kata-kata itu saya temukan dalam buku Anatomi Rasa buah karya Ayu Utami. Ia menafsirkannya sebagai: hidup, nafas, dorongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun