Intinya, sadar terhadap apa yang terjadi di dalam diri kita dan apa yang sedang kita lakukan.
Saat meditasi, kita diminta mengambil jeda sejenak untuk menghayati aliran masuk-keluar napas. Sadari momen saat ini (present), cukup amati pikiran kita tanpa penghakiman dan penilaian. Lalu, lepaskan.
Tampaknya sepele. Namun, bagi orang sejenis saya yang pikirannya sering penuh dan harus berlari dalam jagat digital serba cepat, praktik mindful cukup sulit dilakoni terutama saat permulaan dan saat mental tidak stabil.
Kala saya jatuh, laku mindfulness menyelamatkan saya. Pada momen demikian, saya baru bisa memaknai betapa berharganya waktu untuk menepi, melambat, dan menyendiri dengan genap.Â
Perlahan, saya belajar tentang bagaimana menyatukan pikiran dan tubuh. Sekali lagi, being in the present moment--agar tak terjebak kecemasan tentang masa lalu dan masa depan.
Kendati saya masih menyimpan sangsi setelah menuliskan ini. Saya bertanya ke dalam diri, mampukah saya menyeimbangkan hidup cepat sekaligus lambat. Saat saya terpaksa berlarian kencang dan terengah-engah, kuasakah saya menarik rem diri dan memberi ruang hidup untuk melambat?
Soalnya, dalam dunia urban, kita kerap amnesia dengan opsi hidup melambat. Padahal, melambat adalah sumber kreativitas. Padahal, melambat berarti sadar dan menghayati setiap jengkal hidup yang dilakoni.
Baca juga: Sebuah Narasi Melawan Alienasi pada Kaum Urban dalam Little Forest dan Only Yesterday
Saat mengingat napas sembari bernapas dengan tenang, saya terngiang bunyi fonetis dalam bahasa Jawa. Urip, irup, urub.
Kata-kata itu saya temukan dalam buku Anatomi Rasa buah karya Ayu Utami. Ia menafsirkannya sebagai: hidup, nafas, dorongan.