Baca Juga: Sebuah Narasi Melawan Alienasi pada Kaum Urban dalam Film Little Forest dan Only Yesterday
Bob Wells seolah-olah mengingatkan kita pada kehidupan pengembara di abad perintis yang selalu hidup berkelompok--saling berkumpul dan menjaga satu sama lain. Sebab, apa bedanya jika menjadi pengembara (nomad) yang terputus dari koneksi komune dengan pemukim (settler) yang kesepian di panti jompo?
Justru hakikat pengembaraan ialah tentang perjumpaan dengan sesama manusia. Dan di dalam kamus pengembara, mereka tak pernah mengucapkan salam perpisahan terakhir. Yang ada hanyalah:
"Aku selalu bilang, 'Sampai jumpa di ujung jalan.' Dan aku pun menjumpai mereka. Entah sebulan, setahun, atau kadang bertahun-tahun, aku akan menjumpai mereka lagi." Ujar Bob pada Fern saat keduanya saling berbagi kisah.
Nomadland tak ubahnya seperti perjalanan spiritual untuk menemukan kembali makna "rumah" di hari-hari senja. Atau meneropong kembali rumah asal kita dari kejauhan, dari bentangan lanskap daerah rural tak berujung. Sembari memberi semacam jeda reflektif. Lantas, makna terbuka bagi penonton.
Baca Juga: Minari dan Makna Rumah di Tanah Asing
Saya jatuh cinta bagaimana cara-cara Zhao, sang sutradara, bercerita. Nomadland menyulam atmosfer paling subtil dari setiap perjalanan yang dilalui Fern.Â
Mood dibangun sedemikian rupa dari musik ritmis Ludovico Einaudi dan sinematografi yang merekam detail-detail sederhana; momen saat Fern menyetir mobil sendirian sementara di sekelilingnya jalanan sunyi, atau saat Fern membacakan Soneta 18 karya Shakespeare:
Shall I compare thee to a summer's day?
Thou art more lovely and more temperate.
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer's lease hath all too short a date.
....
Ya. Menonton Nomadland cukup dihayati dan dinikmati, layaknya puisi. Saya kira begitu.