Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Nomadland": Lanskap Puisi Para Pengembara

26 April 2021   07:24 Diperbarui: 26 April 2021   19:00 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Nomadland" (2020) dir. Chloe Zhao (Sumber: imdb.com / Searchlight Pictures)

"No, I'm not homeless. I'm just houseless. Not the same thing, right?"

Kalimat itulah yang paling membekas dalam ingatan saya pasca menonton Nomadland (2020) garapan Chloe Zhao. Kalimat itu dituturkan Fern (diperankan oleh Frances McDormand) saat bersua dengan remaja perempuan yang--tampaknya--pernah menjadi muridnya di sekolah. 

Sebelumnya, remaja itu bertanya dan memastikan, apakah kini Fern betulan homeless. Fern menjawab dengan nada meyakinkan, dirinya hanyalah houseless bukan homeless.

Fern benar. Hanya karena tak lagi punya rumah sungguhan yang beratap dan berdinding, bukan berarti ia bisa disebut homeless.

Homeless dan houseless adalah dua hal yang berbeda. Sebab, kata Morrissey dalam lirik lagunya: "Home, is it just a word? Or is it something you carry within you." (Seorang perempuan dalam adegan di Nomadland memamerkan tato potongan lirik itu di lengan kanannya)

Baca Juga: Perihal Kita, Pengelana Menuju Rumah atau Sebaliknya

Sejatinya, 'home' melampaui ruang fisik dan spasial--yang merujuk pada seorang yang spesial, keluarga, komunitas, bahkan kenangan yang abstrak sekalipun. Setiap orang memiliki hal tersebut, meski tak semua orang punya 'house' untuk menetap.

Fern memilih sebutan 'houseless'. Sebab 'homeless' berkonotasi dengan suatu makna objektifikasi dan menimbulkan rasa 'kasihan' dan 'iba' pada orang yang--seolah-olah--dianggap gelandangan tak berdaya. 

Fern hendak menolak penggunaan kata ini. Ia bukan gelandangan, ia juga tak ingin dikasihani oleh siapa pun, termasuk keluarga sedarahnya sendiri.

Fern adalah houseless yang berdaya--seorang pengembara, sang nomad abad modern.

Frances McDormand sebagai Fern dalam film
Frances McDormand sebagai Fern dalam film "Nomadland" (2020) dir. Chloe Zhao (Sumber: imdb.com / Searchlight Pictures)

Bicara hidup mengembara abad kiwari, terutama di Amerika, barangkali yang kerap muncul dalam imaji kita adalah apa-apa yang berelasi dengan semangat pemberontakan dan lepas dari sistem ala kaum Hippies atau tak jauh-jauh dari semacam representasi film Into The Wild (2007). Tetapi, saya rasa, Nomadland melampaui jenis yang seperti itu.

Para karakter di Nomadland bukanlah tipikal pengembara ekstrem yang menantang dirinya sendiri berjalan kaki puluhan hingga ratusan kilometer. Mereka juga bukan tipikal pengembara yang mengandalkan sumber makanan di pedalaman hutan.

Justru karena masih mengandalkan mobil van sebagai hunian sekaligus teman berkelana dan harus bekerja serabutan di tempat-tempat singgah tertentu demi memenuhi pangan, kehidupan karakter di Nomadland bak puisi kontemplatif manusia-manusia hibrida abad modern sekaligus perintis.

Karakter di Nomadland jelas-jelas adalah pemukim tulen dan sempat mencicipi privilese dari gaya hidup menetap (settle). Tetapi American dream nyatanya tak lagi membutuhkan orang-orang usia senja. 

Bagi mereka, pilihan menjadi seorang vandweller--sebutan untuk pengembara dengan mobil van--tampak lebih masuk akal daripada musti berakhir di ruang-ruang panti jompo lengkap dengan kesepian akut. 

Dalam konteks Nomadland, menurut saya ada dua jenis vandweller. Mereka yang harus terlempar atau sengaja melemparkan diri keluar dari rumah. Dan Fern, sang karakter utama, merupakan jenis yang pertama--ia 'harus terlempar' lantaran keadaan.

Dari jalanan demi jalanan yang dijelajahi, kita akan mendengar berbagai kisah hidup yang dituturkan para pengembara tanpa terbebani diri dengan petuah-petuah klise dan romantisisme realita.

Kita akan mendengar rasa kehilangan dan kesendirian sekaligus penerimaan dalam diri sosok Fern. Tentang bagaimana ia mengenang mendiang suaminya dan tempat tinggalnya terdahulu di kota Empire, Nevada, yang kini telah jadi kota mati.

Kita juga akan mendengar kisah pengembara lain. Tentang harapan hidup dari sosok Linda May yang sempat punya keinginan bunuh diri dipicu impitan ekonomi dan Swankie yang divonis kanker paru-paru saat telah menjadi seorang vandweller. Juga sosok Dave yang memilih kembali hidup menetap (settle) bersama keluarganya dan sempat merayu Fern agar tinggal di rumahnya.

Di antara serpihan sendu, individualitas, dan--kadang-kadang--alienasi, Bob Wells--karakter laki-laki yang nyata--muncul bak juru selamat. Ia menawarkan apa yang disebutnya sebagai "sekoci penyelamat" dengan mendirikan perkumpulan dan pertemuan tahunan untuk para vandweller di Quatrzsite, Arizona.

Baca Juga: Sebuah Narasi Melawan Alienasi pada Kaum Urban dalam Film Little Forest dan Only Yesterday

Adegan yang menampilkan saat Fern bersama mobil van miliknya dalam film
Adegan yang menampilkan saat Fern bersama mobil van miliknya dalam film "Nomadland" (2020) dir. Chlo Zhao (Sumber: imdb.com / Searchlight Pictures)

Bob Wells seolah-olah mengingatkan kita pada kehidupan pengembara di abad perintis yang selalu hidup berkelompok--saling berkumpul dan menjaga satu sama lain. Sebab, apa bedanya jika menjadi pengembara (nomad) yang terputus dari koneksi komune dengan pemukim (settler) yang kesepian di panti jompo?

Justru hakikat pengembaraan ialah tentang perjumpaan dengan sesama manusia. Dan di dalam kamus pengembara, mereka tak pernah mengucapkan salam perpisahan terakhir. Yang ada hanyalah:

"Aku selalu bilang, 'Sampai jumpa di ujung jalan.' Dan aku pun menjumpai mereka. Entah sebulan, setahun, atau kadang bertahun-tahun, aku akan menjumpai mereka lagi." Ujar Bob pada Fern saat keduanya saling berbagi kisah.

Nomadland tak ubahnya seperti perjalanan spiritual untuk menemukan kembali makna "rumah" di hari-hari senja. Atau meneropong kembali rumah asal kita dari kejauhan, dari bentangan lanskap daerah rural tak berujung. Sembari memberi semacam jeda reflektif. Lantas, makna terbuka bagi penonton.

Baca Juga: Minari dan Makna Rumah di Tanah Asing

Mobil van milik Fern membelah jalanan Amerika bagian barat dalam film
Mobil van milik Fern membelah jalanan Amerika bagian barat dalam film "Nomadland" (2020) dir. Chloe Zhao (Sumber: imdb.com / Searchlight Pictures)

Saya jatuh cinta bagaimana cara-cara Zhao, sang sutradara, bercerita. Nomadland menyulam atmosfer paling subtil dari setiap perjalanan yang dilalui Fern. 

Mood dibangun sedemikian rupa dari musik ritmis Ludovico Einaudi dan sinematografi yang merekam detail-detail sederhana; momen saat Fern menyetir mobil sendirian sementara di sekelilingnya jalanan sunyi, atau saat Fern membacakan Soneta 18 karya Shakespeare:

Shall I compare thee to a summer's day?
Thou art more lovely and more temperate.
Rough winds do shake the darling buds of May,
And summer's lease hath all too short a date.

....

Ya. Menonton Nomadland cukup dihayati dan dinikmati, layaknya puisi. Saya kira begitu.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun