Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ghosting dan Hal-hal yang (Rasanya) Tak Selesai

10 Maret 2021   14:03 Diperbarui: 22 Maret 2021   00:33 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ghosting | Sumber: dailytarheel.com

Tak ada yang suka di-ghosting.

Saya percaya, ada banyak orang di dunia ini sepakat kalau perilaku ghosting itu menyebalkan, bahkan bagi pelaku ghosting sekalipun--sebetulnya mereka punya kesadaran kalau sikapnya itu buruk.

Gara-gara ibunya Felicia Tissue menuduh Kaesang telah meng-ghosting anaknya, istilah 'ghosting' mencuat pesat di jagat twitter dan pencarian google selama beberapa hari sejak Jumat lalu (5/3). Orang-orang zaman kiwari yang sangat meresapi istilah 'ghosting' dan kerap mengalami ghosting-meng-ghosting seolah-olah terbangun dari alam bawah sadarnya (cek saja, kata kunci 'ghosting' menempati urutan pertama di google trend Indonesia sepanjang 2020).

Kaesang dan Felicia | Sumber: Instagram.com/feliciatissue
Kaesang dan Felicia | Sumber: Instagram.com/feliciatissue
Betapa pengalaman yang rasanya sangat personal ini ternyata ya nggak personal-personal amat--maksudnya, semua orang pernah mengalaminya, kok! Hanya saja istilahnya berbeda dari generasi ke generasi, bahkan tak bernama. Dulu, kita pernah mengenal istilah 'gantung'--kalau kata Melly Goeslow, Kau menggantungkan hubungan ini // Kau diamkan aku tanpa sebab~ (hehe). Ya, kira-kira sebelas-dua belaslah ya sama ghosting.

Kalau menurut Merriam-Webster, sih, ghosting itu (biar diperjelas) adalah "tindakan atau praktik yang secara tiba-tiba memutuskan semua kontak dengan seseorang dengan cara tidak lagi menerima atau menanggapi panggilan telepon, pesan singkat, dll." Dalam relasi romantis, kita pikir komunikasi sama si doi baik-baik aja selama ini, namun entah kenapa suatu hari si doi tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Balik lagi ke soal Kaesang-Felicia. Senin kemarin (8/3), Kaesang akhirnya buka suara. Menurut pengakuannya, ia sudah mengakhiri hubungan dengan Felicia pertengahan Januari yang lalu namun malah makian yang ia dapatkan. "Tapi yowis lah, aku diem aja," tuturnya.

Nah, lho. Jadi, Kaesang itu beneran bisa disebut pelaku ghosting apa enggak, nih?

Baca juga: Perihal Kita, Pengelana Menuju Rumah atau Sebaliknya

Jika rumor ini terus disorot, sebetulnya ya larinya nggak ke mana-mana, apa lagi kalau bukan ke arah gosip-menggosip dan bumbu-bumbu lainnya. Tetapi menarik, isu ini sesungguhnya abu-abu. Kedua pihak punya versi kebenarannya masing-masing.

Kita jadi paham bahwa hubungan romantis pada setiap orang itu punya spektrum beragam dan unik sekaligus universal, terlihat mudah padahal ya cukup rumit. Maka, tak perlu menghakimi Kaesang atau membela mati-matian pihak Felicia. Selanjutnya biarlah tetap menjadi urusan personal mereka.

Meng-ghosting dan di-ghosting, pelaku vs korban

"Gue itu jahat, sih, nggak disengaja sebenernya, haha. Nggak ada niatan buat nyakitin perasaan orang lain. Cuma, ya, gue sering ngilang aja. Beneran ngilang dan nggak balik-balik lagi. Mungkin itu yang bikin cewek-cewek pada kesel kali ya. Ada sesuatu yang bikin gue nggak sreg dan nggak mau lanjut," cerita seorang teman laki-laki yang saya kenal dari aplikasi kencan daring.

Sebagai seorang yang tak suka di-ghosting dan berkomitmen untuk tidak meng-ghosting orang lain dalam relasi interpersonal, saya cukup kaget mendengar pengakuannya.

"Tapi kadang-kadang gue bilang dulu, kok, kalau mau udahan. Misalnya bilang, 'kita nggak cocok dan gue nggak bisa lanjut'. Kalau dia tetap bersikeras, ya gue tetap pergi, sih, hehe. Mau bagaimana pun, kalau dipaksakan ya nggak akan bener," imbuhnya.

Alih-alih memberi ruang dialog, kita kerap terjebak pada penghakiman bahwa pelaku ghosting selalu antagonis dan melabelinya dengan sebutan 'pengecut' atas sikap yang seolah-olah tak bertanggung jawab. Setelah mendengar pengalaman seorang teman yang sering ghosting-in orang, saya jadi paham bahwa ada beragam alasan dari sudut pandang pelaku. Mengutip tulisan Psikolog Maya Borgueta di huffpost.com, katanya:

Ada banyak alasan psikologis mengapa seseorang menjadi pelaku ghosting. Tetapi pada intinya, ghosting adalah penghindaran dan seringkali berasal dari ketakutan terhadap konflik. Artinya, ghosting itu tentang keinginan untuk menghindari konfrontasi, menghindari percakapan yang sulit, dan menghindari menyakiti perasaan seseorang.

Menurutnya lagi, kita harus bisa membedakan fenomena ghosting dengan perilaku melarikan diri dari hubungan toxic. Intinya, kita punya hak putus kontak dengan orang toxic yang membuat kondisi fisik dan psikis kita tidak lagi aman. Namun, kalau ngilang-nya benar-benar ingin "menghindar", patut dipikirkan kembali bahwa ada cara-cara yang lebih baik untuk berbicara dengan terus terang dan membuka ruang dialog.

Baca juga:  Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu

Di-ghosting itu menyebalkan dan menyakitkan. Kita jadi bingung hendak bereaksi seperti apa sebab tak ada kejelasan sama sekali. Efeknya, kita malah meragukan dan menyalahkan diri sendiri. Kita melulu dihantui pertanyaan dan hanya menerka-nerka kesalahan (yang barangkali saja tak selalu ada).

Yang lebih parah, seseorang bisa mengalami trauma dan masalah mental lainnya akibat terus-menerus mengalami penolakan. Apalagi bagi orang-orang yang mudah terjebak dalam rasa rendah diri dan sulit menoleransi rasa sakit. Nah, kalau sudah gawat seperti ini kudu konsultasi dengan psikolog, ya!

Apa yang harus kita lakukan jika di-ghosting

Di zaman yang serba digital seperti sekarang, kita mudah sekali memulai komunikasi dengan orang baru sekaligus mudah untuk mengakhirinya. Kepada orang yang match dengan saya di aplikasi kencan, saya akan bilang:

'Kalau suatu hari nanti saya ingin pergi, saya ingin bilang jujur apa alasannya. Begitu pula sebaliknya, saya harap kamu bisa seperti itu. Saya tak akan marah dan berharap apa-apa, setidaknya penjelasan singkat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya kita sudah berupaya menghargai perasaan satu sama lain.'

Mungkin mudah bagi saya, tetapi saya nggak bisa menjamin dan mencegah orang tersebut tak akan meng-ghosting. Yang bisa saya lakukan hanyalah membenahi pikiran saya sendiri. Tak semua hal-hal di luar diri ini bisa dikendalikan, kitalah yang harus mengontrol pikiran kita sendiri, begitu kata filsafat Stoa.

Baik ghosting maupun putus cinta, terkadang sama-sama menyakitkan. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Hadapi dan terimalah kenyataan. Ada benarnya kata pepatah, kalau kita berani untuk menyukai bahkan mencintai seseorang, kenapa mesti takut menghadapi luka? It's okay to cry, tapi nggak boleh terus-terusan. Percayalah, kamu bisa pulih.

Ingatlah kembali lirik dari Banda Neira: yang patah tumbuh, yang hilang berganti~

Baca juga: Kenikmatan Seks Itu (Bukan) Tabu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun