Sebagai seorang yang tak suka di-ghosting dan berkomitmen untuk tidak meng-ghosting orang lain dalam relasi interpersonal, saya cukup kaget mendengar pengakuannya.
"Tapi kadang-kadang gue bilang dulu, kok, kalau mau udahan. Misalnya bilang, 'kita nggak cocok dan gue nggak bisa lanjut'. Kalau dia tetap bersikeras, ya gue tetap pergi, sih, hehe. Mau bagaimana pun, kalau dipaksakan ya nggak akan bener," imbuhnya.
Alih-alih memberi ruang dialog, kita kerap terjebak pada penghakiman bahwa pelaku ghosting selalu antagonis dan melabelinya dengan sebutan 'pengecut' atas sikap yang seolah-olah tak bertanggung jawab. Setelah mendengar pengalaman seorang teman yang sering ghosting-in orang, saya jadi paham bahwa ada beragam alasan dari sudut pandang pelaku. Mengutip tulisan Psikolog Maya Borgueta di huffpost.com, katanya:
Ada banyak alasan psikologis mengapa seseorang menjadi pelaku ghosting. Tetapi pada intinya, ghosting adalah penghindaran dan seringkali berasal dari ketakutan terhadap konflik. Artinya, ghosting itu tentang keinginan untuk menghindari konfrontasi, menghindari percakapan yang sulit, dan menghindari menyakiti perasaan seseorang.
Menurutnya lagi, kita harus bisa membedakan fenomena ghosting dengan perilaku melarikan diri dari hubungan toxic. Intinya, kita punya hak putus kontak dengan orang toxic yang membuat kondisi fisik dan psikis kita tidak lagi aman. Namun, kalau ngilang-nya benar-benar ingin "menghindar", patut dipikirkan kembali bahwa ada cara-cara yang lebih baik untuk berbicara dengan terus terang dan membuka ruang dialog.
Baca juga:Â Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu
Di-ghosting itu menyebalkan dan menyakitkan. Kita jadi bingung hendak bereaksi seperti apa sebab tak ada kejelasan sama sekali. Efeknya, kita malah meragukan dan menyalahkan diri sendiri. Kita melulu dihantui pertanyaan dan hanya menerka-nerka kesalahan (yang barangkali saja tak selalu ada).
Yang lebih parah, seseorang bisa mengalami trauma dan masalah mental lainnya akibat terus-menerus mengalami penolakan. Apalagi bagi orang-orang yang mudah terjebak dalam rasa rendah diri dan sulit menoleransi rasa sakit. Nah, kalau sudah gawat seperti ini kudu konsultasi dengan psikolog, ya!
Apa yang harus kita lakukan jika di-ghosting
Di zaman yang serba digital seperti sekarang, kita mudah sekali memulai komunikasi dengan orang baru sekaligus mudah untuk mengakhirinya. Kepada orang yang match dengan saya di aplikasi kencan, saya akan bilang:
'Kalau suatu hari nanti saya ingin pergi, saya ingin bilang jujur apa alasannya. Begitu pula sebaliknya, saya harap kamu bisa seperti itu. Saya tak akan marah dan berharap apa-apa, setidaknya penjelasan singkat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya kita sudah berupaya menghargai perasaan satu sama lain.'
Mungkin mudah bagi saya, tetapi saya nggak bisa menjamin dan mencegah orang tersebut tak akan meng-ghosting. Yang bisa saya lakukan hanyalah membenahi pikiran saya sendiri. Tak semua hal-hal di luar diri ini bisa dikendalikan, kitalah yang harus mengontrol pikiran kita sendiri, begitu kata filsafat Stoa.
Baik ghosting maupun putus cinta, terkadang sama-sama menyakitkan. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Hadapi dan terimalah kenyataan. Ada benarnya kata pepatah, kalau kita berani untuk menyukai bahkan mencintai seseorang, kenapa mesti takut menghadapi luka? It's okay to cry, tapi nggak boleh terus-terusan. Percayalah, kamu bisa pulih.