Suasana seperti itu meningatkan saya kepada foto-foto karya Choi Byung Kwan. Tahun lalu saya mengunjungi pameran foto itu di Museum Nasional, judulnya "Korea's Demilitirized Zone, In Searchfor the Land of Peace and Life".
Pameran ini memajang foto-foto di Zona Demiliterisasi Korea, sebuah wilayah batas berakhirnya Perang Korea yang kini sudah berubah menjadi wilayah baru untuk rekonsiliasi.
Menariknya, tak ada kesan kengerian dalam foto-foto karya Choi. Yang ada hanyalah lanskap indah yang menentramkan mata. Ada foto yang sangat memorable bagi saya.
Choi mengekspos benda-benda bekas perang yang sudah berkarat tetapi dikelilingi oleh rumput hijau atau bunga rumput berwarna cerah yang tumbuh alami di tempat itu.
Seperti dua unsur yang kontradiktif sekaligus sublim jadi satu. Foto yang sederhana namun sarat makna, ia adalah simbol perdamaian. Begitulah cara visual berbicara.
Sebagian orang memaknai kematian korban perang dengan penghormatan, pengultusan, dan peringatan hari kematian. Sebagian lagi memaknainya dengan perasaan hampa, tanpa nisan atau monumen kematian, dan pertanyaan 'untuk apa/siapa manusia berperang?' terus berdenging di kepalanya. Scho dalam 1917 barangkali adalah jenis orang yang terakhir.
Berbeda halnya tokoh James Ryan dalam Saving Private Ryan yang memaknai kematian Kapten John dengan memberi penghormatan di hadapan pusara.Â
Di sela-sela akhir cerita itu, bayangan bendera AS muncul berkibar-kibar di langit. Barangkali, seorang Amerika yang menonton adegan Saving Private Ryan itu, sesaat jiwanya akan ikut berdesir.
Manusia punya berbagai cara untuk mengenang orang-orang yang gugur dalam perang. Biasanya, heroisme acap muncul sebagai salah satu upaya manusia memberi makna kolektif.
Sejak berabad-abad, watak heroisme tak pernah berubah, ia selalu muncul di tengah gelaran panggung besar -tak peduli siapa tokoh yang berdiri di sana, apakah ia seorang jenderal besar atau prajurit biasa- di antara rongga luka yang menganga dan kemenangan yang memabukkan.