Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Kita Perlu Berhati-hati Ketika Berpikir Soal "Cultural Appropriation"

19 Agustus 2019   20:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: instagram.com/agnezmo

Perdebatan konsep "cultural appropriation" tak pernah final; ia mengandung paradoks di dalam dirinya sendiri, seperti pedang bermata dua. Atau tampak kuat dari luar tapi rapuh dari dalam.

Tahun-tahun belakangan, jagat internet kerap ramai menyoroti gaya fesyen para selebriti Hollywood yang dituduh sebagai tindakan cultural appropriation atau kalau boleh saya terjemahkan dengan istilah "apropriasi budaya".

Belum lama ini, Agnez Mo menjadi sasaran empuk kritikan netizen karena gaya rambut teranyarnya itu. Ia mengaku bahwa "anyam rambut" berasal dari budaya Papua. Dalam bayangannya, ia merasa bangga mengenakan simbol tradisional itu. Unity in diversity, katanya.

Alih-alih ingin menumbuhkan rasa kebanggaan atas keberagaman budaya di Indonesia, Agnez menuai kritik karena tindakannya itu dianggap sebagai apropriasi budaya. Agnez sebagai representasi figur mayoritas Indonesia--apalagi citra Go International-nya itu--sangat rentan menimbulkan kesan dominasi yang (mungkin saja) tidak disadarinya karena keterbatasan pengalaman etnisitas.

Foto: instagram.com/agnezmo
Foto: instagram.com/agnezmo
Kasus serupa pernah terjadi pada Katy Perry di tahun 2013. Penampilan Katy Perry di atas panggung American Music Awards (AMA) menuai kritik. Pasalnya ia mengenakan pakaian Geisha (Jepang) sambil menyanyikan lagu "Unconditionally".

Alih-alih ingin memberikan penghormatan terhadap budaya Jepang, padanan tersebut--antara atribut Geisha dengan lagu yang menyiratkan tentang "cinta tanpa syarat"--dinilai bisa berdampak pada langgengnya stereotip orang Barat terhadap perempuan Jepang yang pasif dan inferior. Katy Perry dianggap telah merayakan ketidakberdayaan perempuan-perempuan Jepang.

Kasus lain misalnya pada Kim Kardhasian yang memproduksi pakaian dalam (bra, celana dalam, dan bodysuit) dengan nama "Kimono". Warga Jepang memprotes pemberian nama ini sebab dalam budaya mereka Kimono adalah pakaian tradisional yang punya nilai luhur. Warga Jepang khawatir, di masa mendatang orang-orang lebih mengira "Kimono" itu sebagai pakaian dalam (komoditas) dan bukan pakaian tradisional lagi.

Dan masih banyak sederet contoh kasus dalam industri budaya populer.

Tapi kita musti tahu bahwa apropriasi budaya juga terjadi pada ranah budaya lain, bukan hanya fesyen--tapi gema dan kehebohannya memang tidak sekencang di industri populer.

Misalnya saja tentang penggunaan nama "Washington Redskins" pada klub olahraga Amerika yang mengundang kontroversi karena berasosiasi dengan penyebutan identitas rasial kaum Indian yang bermakna merendahkan. Atau misalnya perihal penggunaan aksesori Indian dengan tujuan sekadar tampil keren tanpa memahami historisitas dan nilai kesakralan di baliknya--sejarah penduduk asli Amerika penuh dengan kekerasan dan genosida.

Dari beberapa contoh kasus di atas, setidaknya kita memproyeksikan tumbukan budaya itu terjadi antara mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas mengadopsi budaya minoritas. Itulah yang dipahami orang-orang. Tapi marilah bertanya, apa/siapa itu mayoritas dan minoritas?

Sebagian orang mengasosiasikan "adopsi" itu sebagai bentuk "perampasan". Sebagian lagi lebih suka mengasosiasikannya sebagai hanya "meminjam".

Kadang-kadang, ada yang mengatakan bahwa yang disebut apropriasi budaya itu ketika atribut minoritas digunakan untuk kepentingannya sendiri (mayoritas) dan tidak disertai dengan pemahaman "makna" budaya minoritas.

Ada kalanya definisi apropriasi budaya menambahkan kata-kata di belakangnya seperti, "pengadopsian budaya itu dilakukan 'tanpa permisi'". Seolah-olah memang harus ada upaya izin kepada "si pemilik" budaya. Tapi marilah bertanya, siapakah yang berhak memberi otoritas atas boleh/tidaknya pengadopsian suatu budaya?

Kenyataannya, konsepsi apropriasi budaya masih menjadi perdebatan. Menilik berbagai perspektif atas pemberian definisi itu, tampaklah bahwa kata-kata dilontarkan orang secara "mana-suka" sesuai dengan apa telah yang diyakininya (subjektivitas) dan berpotensi menimbulkan penafsiran yang bias.

Saya pikir, kita perlu berhati-hati ketika menyematkan "apropriasi budaya" pada kasus-kasus tertentu. Kita perlu memeriksa kembali prasangka atau dugaan itu dengan bijak dan--semoga--kritis. Sebab konsepsi "apropriasi budaya" seperti pedang bermata dua. Kedua sisi itu sama-sama bisa "membunuh" jika kita tidak berhati-hati menggunakannya sebagai "alat bedah".

Berusaha Objektif dengan Memahami Konteks Sosio-historis atau Malah Tersulut Emosi dan Menjadi Subjektif?

Tampaknya, alasan paling fundamental adanya konsep "apropriasi budaya" terletak pada relasi kelas yang tak imbang antara mayoritas dan minoritas.

Untuk menghindari cap negatif ini, kelompok mayoritas seyogianya memahami makna dan konteks sosio-historis suatu budaya yang akan diadopsinya sehingga memunculkan relasi imbang atau timbal-balik yang sepadan.

Bekal atas pengetahuan sosio-historis sesungguhnya adalah upaya mencegah luka dan trauma kelompok minoritas--seperti penindasan dan genosida di masa lampau--yang sewaktu-waktu bisa menganga kembali.

Memang, riwayat sejarah kita terlalu rumit untuk sekadar dipahami secara hitam-putih belaka. Kalau menurut Marx, sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Mungkin ini sangat relate dalam pusaran saling-silang dan tarik-menarik antara budaya borjuis dan budaya proletar.

Saya menemukan artikel di The Guardian yang ditulis Ash Sarkar. Ia menyebut nama Kenneth Coutts-Smith menulis esai pertama perihal gagasan kelas dalam budaya, meski tidak eksplisit menyebutkan istilah "cultural appropriation".

Coutts-Smith menulis esai itu dengan judul "Some General Observations on the Concept of Cultural Colonialism" yang terbit tahun 1976. Menurut Sarkar, Coutts-Smith adalah orang yang menyatukan pemikiran Marxis tentang "class appropriation" (di mana gagasan "high culture" disesuaikan dan didefinisikan oleh kelas sosial dan ekonomi yang dominan) dan "cultural colonialism" (yang menggambarkan cara budaya Barat mengambil kepemilikan bentuk-bentuk seni yang berasal dari orang-orang yang tertindas atau terjajah).

Saya belum tahu pasti, apakah memang konsep apropriasi budaya berangkat dari pemikiran soal perlawanan kelas itu? Bisa jadi.

Ketika saya mencoba berpikir secara objektif, saya memilih memposisikan diri sebagai mayoritas sekaligus minoritas. Rasanya tak adil jika saya ngoceh soal ketidakadilan di tanah Papua, tapi saya sendiri lahir dan menetap di Jawa, berasal dari etnis Jawa, dan menikmati modernitas serta kemudahan hidup di perkotaan Jawa.

Lucunya, jika kita tetap merujuk pada definisi tentang pertentangan mayoritas-minoritas, bukankah ukuran ini sangat relatif? Saya bisa menjadi mayoritas sekaligus minoritas.

Pertama. Posisi saya sebagai mayoritas agak mirip dengan Agnez. Satu-satunya perbedaan hanyalah soal privilese kapital--Agnez adalah bintang besar yang punya power karena mendulang kapital dari industri populer.

Sebagai seorang yang sejak lahir menetap di Jawa, mendengar Papua bagi saya kok terasa "jauh". Seperti saudara jauh. Mungkin karena sejarah di Papua tak pernah jernih dan selalu bias kepentingan.

Juga tak bisa disangkal, rasisme kadang-kadang menular seperti wabah, masih saja ada yang memandang dengan "janggal" hanya karena perbedaan fisiologis orang-orang Papua dari kebanyakan orang Indonesia. Betapa bermasalahnya prasangka rasisme!

Atau masih ada mayoritas memandang Papua dengan kacamata orientalisme Barat, memandang kehidupan mereka sebagai yang "eksotis". Atau memandang budaya tradisional Papua dengan cara pikir modern yang dipenuhi rasionalitas--alam pikir tradisional sangatlah berbeda dengan alam pikir modern. Atau dalam hal "peradaban", orang-orang yang hidup di pulau Jawa selalu merasa lebih canggih dan adiluhung.

Ketika kita (mayoritas) masih suka menggunakan kacamata itu secara sadar atau tidak, bukankah akhirnya nasionalisme kita berubah menjadi cacat? Bukankah nasionalisme kita itu seharusnya tidak rasis? Dan jika merujuk pemikiran Ben Anderson, konsep nasionalisme sungguh berbeda dengan rasisme.

Kedua. Dalam kapasitas identitas kolektif saya sebagai bangsa Indonesia yang pernah terkungkung kolonialisme, tentu saja saya memposisikan diri sebagai minoritas jika dipertentangkan dengan bangsa Eropa.

Anehnya, generasi baru suatu bangsa seakan-akan bisa secara otomatis memperoleh rasa cinta tanah air (rasa nasionalisme) dengan cara menghayati sejarah tanpa pernah benar-benar mengalami bagaimana rasanya ditindas dengan serendah-rendahnya.

Jika ada orang lain (sesama Indonesia) yang mengalami penindasan, saya pun akan merasa terluka. Bahkan jika itu terjadi di masa lampau, luka itu menular pada saya yang hidup di masa kini karena konektivitas kesamaan nation itu, rasa persaudaraan. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan tentu punya pertautan rasa ketika membayangkan kesakitan-kesakitan masa lampau yang terus dikenang sampai hari ini.

Ketika saya memposisikan diri sebagai minoritas (sambil mengenang bekas luka penjajahan yang dilakukan Eropa), barangkali seperti itulah yang dirasakan orang-orang Papua hingga hari ini; ada rasa ketidakadilan akibat penindasan dan perampasan nyawa, yang ironisnya dilakukan "negara" Indonesia sendiri.

Kembali lagi pada pengandaian diri sebagai mayoritas. Harus diakui pula bahwa pengalaman keetnisan saya sangatlah terbatas. Sebab itu, tak bisa saya katakan sepenuhnya bahwa saya bisa memahami "luka" orang-orang Papua dengan sepenuh hati.

Yang bisa saya lakukan hanyalah memahami pengalaman mereka dengan menggunakan "kesadaran" intelektual yang saya miliki. Dan saya tahu, kesadaran ini merupakan barang mewah bagi kebanyakan orang Papua; kualitas pendidikan mereka masih rendah sementara kekerasan militer tak pernah padam.

Bisakah kita bertanya tentang Papua? Cobalah flashback ke masa lampau dan mengandaikan diri sebagai Eropa-terdidik yang sudah lebih dulu mengenyam peradaban modern di tanah Hindia-Belanda, saya pasti akan berkata: betapa menyedihkan melihat tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh bangsa sendiri!

Dengan secuil perspektif tersebut, barangkali apropriasi budaya tampak relevan sebagai alat bedah untuk mengajukan kritik ketertindasan kelas. Tapi, benarkah konsep apropriasi bisa relevan pada segala aspek?

Mengutip lagi Ash Sarkar di The Guardian, ia tak menyangkal bahwa konsep apropriasi budaya sangat bermakna untuk mengungkap sistem eksploitasi dan dominasi, namun di sisi lain ia tetap menguji kekeliruan-kekeliruan logika yang ada di dalamnya.

Sarkar sendiri merupakan seorang jurnalis, lahir di London, keturunan India, dan memiliki kulit coklat. Menariknya, ia mengatakan seperti ini.

"... Saya sendiri merasakan kemarahan itu: seperti ketika seseorang dengan sungguh-sungguh memberi tahu saya bagaimana henna terlihat lebih baik digunakan pada kulit-putih; atau ketika saya melihat makanan pokok India dipasarkan oleh "gentrifiers" Inggris. Ada perasaan yang sangat khusus ketika Anda tahu bahwa identitas yang saya kenakan pada kulit saya adalah "pakaian" untuk orang lain--bahwa "budaya" lebih dihargai daripada "manusia" yang membuatnya. ..." (tanda kutip dan cetak tebal oleh penulis).

Kemarahan. Itulah kata kuncinya. Kemarahan yang dirasakan minoritas.

Begitu pula pada bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan. Tapi tampaknya bangsa Indonesia tak pernah "kenyang" mengadopsi budaya mayoritas (Barat), dan Barat tak pernah menggugat atas budayanya telah "dicuri" oleh Timur. Ini berarti, bukankah memang ada relasi hegemoni yang kuat pada Barat?

Tapi "kemarahan" karena penindasan ini pun juga tak masuk akal. Jika terlalu mudah tersulut emosi dan menggunakan prasangka subjektivitas, bukankah minoritas bisa bersikap rasis terhadap mayoritas?

Memang bisa seperti itu?

Coba tengoklah narasi sejarah kolonialisme kita. Kita lebih suka bicara tentang kebiadaban orang Eropa kulit-putih terhadap bangsa ini ketimbang memandang mereka sebagai manusia universal. Atau kita masih suka membayangkan nyaris semua kulit-putih yang datang ke Hindia-Belanda itu jahat. Tak adil, bukan?

Kata Sarkar lagi dalam tulisannya, "Tidak semua orang yang terlibat dalam kesalah-tafsiran atas peminjaman budaya bisa disebut sebagai penjajah yang menyamar."

Kembali pada kasus Agnez, janganlah lupa kita perlu bertanya lagi, apakah klaim "anyam rambut" itu benar-benar berasal dari Papua? Bukankah gaya rambut itu serupa dengan cornrow pada orang-orang Afrika? Dengan kata lain, bukankah budaya itu pada hakikatnya lintas-negara-bangsa?

Kita kerap dipusingkan dengan "keaslian" suatu budaya, kita belum lagi tahu apakah gaya rambut yang diadopsi Agnez memang "milik" Papua atau komunitas kulit-hitam dalam cakupan yang lebih luas.

Melihat itu, apakah budaya itu mutlak dimiliki suatu kolektivitas tertentu? Bukankah ini terlalu beresiko karena budaya bisa berubah sebagai sesuatu yang "kaku" dan "statis"?

Marilah bertanya lagi, siapakah "si pemilik" yang berhak memberi otoritas atas boleh/tidaknya pengadopsian suatu budaya?

Lalu, apakah yang mayoritas secara otomatis tidak boleh memakai atribut minoritas? Bukankah apropriasi budaya itu terdengar berlebihan?

Saya pikir, inilah problem dari apropriasi budaya; ia paradoks dalam dirinya sendiri. Seperti yang saya singgung di atas, ia seperti pedang bermata dua.

Siapakah yang Dimaksud "Si Pemilik" Budaya Itu?

Tidak cukup berhenti pada pembicaraan relasi kelas mayoritas-minoritas, kita juga perlu melihat jejaring kuasa yang lebih besar lagi. Kalau menurut Nadya Karima Melati dalam artikelnya di Magdalene.co, kuasa ini membuat konsep apropriasi budaya tampak tidak masuk akal. Dan menurut saya apropriasi budaya ini "tampak kuat dari luar tapi rapuh dari dalam".

Nadya mewawancarai Geger Riyanto, seorang antropolog muda yang sedang belajar di Universitas Heidelberg, Jerman. Dari tulisan itu, saya menangkap dua poin yang patut dijadikan perhatian di hari ini, yaitu kehadiran kompetisi negara-bangsa dan kekuatan ekonomi dalam kehidupan modern.

Mengutip dari artikel tersebut, "negara-bangsa adalah konsep muda yang abstrak dan membutuhkan kegiatan atau benda-benda konkret untuk menerjemahkannya".

Jika saya boleh mengutip Anderson, menurutnya bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas terbayang dan usianya baru dua abad (Imagined Communities, hal. 11). Lalu, jika dibayangkan pada bangsa bekas-jajahan--dalam pembicaraan ini 'Indonesia'--usianya bisa lebih muda lagi. 

Jadi, bangsa bukanlah semacam warisan yang turun-temurun--kita masih suka mengatakan bahwa bangsa ini semata-mata 'warisan leluhur', seolah-olah telah ada sejak nenek-moyang manusia. Bangsa menjadi suatu proyeksi ke depan sekaligus ke belakang dengan menggenggam kuat kekinian (historical being).

Menjadi masalah ketika negara-bangsa--yang semula abstrak--membutuhkan hal-hal konkret, dengan harapan wujud itu bisa lebih "dirasakan" masyarakat. Pada budaya, kita bisa merasakan nasionalisme Indonesia--perasaan yang sangat khusus--lewat tari tradisional, pakaian adat, dan seterusnya.

Nadya dalam artikelnya mencontohkan kasus "kepemilikan" rendang. Ketika rendang diklaim sebagai milik Malaysia, tiba-tiba saja perasaan nasionalisme kita terluka. Padahal sebelum itu, kita tak begitu peduli dengan keberadaan rendang.

Kenapa bisa begitu? Sebab kita selalu mengandaikan budaya tradisional itu dengan bangun rasa nasionalisme di bawah kuasa negara. Akhirnya, budaya berubah menjadi "kaku", "terbatas", dan "tertutup", bahkan menjadi "benda mati" yang diperebutkan status kepemilikannya.

Menurut saya, jika kita lebih bijak dengan tidak menggunakan "Nasionalisme" (huruf "N" besar yang sombong), kemungkinan besar akan muncul kesangsian pada diri sendiri: bukankah rendang itu telah ada sebelum legitimasi 'negara' hadir? Bukankah Malaysia masih satu rumpun dengan kita?

Ambillah contoh pada kasus Kim Kardhasian. Jepang, sebagai negara-bangsa, merasa berhak memiliki Kimono--pakaian tradisional yang biasa digunakan secara nasional. Ketika Kim memproduksi pakaian dalam dengan nama "Kimono"--meski hanya mencomot elemen namanya saja dan bukan wujud konkretnya--perasaan nasionalisme warga Jepang seketika terluka bahkan terancam.

Pada kasus Agnez, sebagian orang merasa tak ada yang keliru dengan kepemilikan "anyam rambut" oleh mayoritas dengan alasan Papua merupakan bagian dari Indonesia. Padahal, ketika tak ada mayoritas Indonesia yang mengenakan atribut Papua, kita tak ambil pusing dengan itu. Dan kenapa ketika Agnez yang mengenakan atribut Papua dengan sentuhan modern tiba-tiba saja kita merasa bangga, sementara ketika orang Papua sendiri yang memakai atribut-atribut itu kita hanya memandangnya dengan "eksotis"?

Itu baru lingkup identitas negara-bangsa. Belum lagi bicara soal kompetisi ekonomi yang punya pengaruh besar terhadap kebijakan-kebijakan politis suatu negara.

Tapi di luar konteks negara-bangsa dan ekonomi, justru yang paling mengkhawatirkan saya adalah kepemilikan budaya atas nama ras yang eksklusif.

Jika rambut gimbal dan cornrow hanya "milik" komunitas kulit-hitam dan di luar itu tak ada yang berhak menggunakannya, bukankah sikap itu berisiko rasis karena beranggapan bahwa semua non-kulit hitam "jahat"? Padahal, jahat atau baiknya seseorang tidak ditentukan oleh ras. Sama halnya ketika orang Indonesia yang memandang semua kulit-putih itu penjajah. Bukankah di antara kulit-putih itu masih ada yang mendukung kemerdekaan Indonesia?

Konsekuensi dari keanomalian konsep ini, budaya bisa berubah menjadi sesuatu yang "kaku", "statis", "tertutup", dan "benda mati".

Pertanyaannya, bukankah budaya itu pada dasarnya "cair", "tak terbatas", "terbuka", dan "benda hidup"? Bukankah budaya itu selalu bertumbukan hingga mencapai keseimbangannya sendiri? Bukankah budaya itu tak ada yang benar-benar "asli"?

Akhirnya, tidakkah jejaring kuasa dan prasangka rasisme itu lebih rumit ketimbang hanya melihat apropriasi budaya dalam kerangka mayoritas-minoritas saja?

Setelah melihat dua sisi tajam dari pedang bernama apropriasi budaya, bagaimana selanjutnya sikap kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun