Anehnya, generasi baru suatu bangsa seakan-akan bisa secara otomatis memperoleh rasa cinta tanah air (rasa nasionalisme) dengan cara menghayati sejarah tanpa pernah benar-benar mengalami bagaimana rasanya ditindas dengan serendah-rendahnya.
Jika ada orang lain (sesama Indonesia) yang mengalami penindasan, saya pun akan merasa terluka. Bahkan jika itu terjadi di masa lampau, luka itu menular pada saya yang hidup di masa kini karena konektivitas kesamaan nation itu, rasa persaudaraan. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan tentu punya pertautan rasa ketika membayangkan kesakitan-kesakitan masa lampau yang terus dikenang sampai hari ini.
Ketika saya memposisikan diri sebagai minoritas (sambil mengenang bekas luka penjajahan yang dilakukan Eropa), barangkali seperti itulah yang dirasakan orang-orang Papua hingga hari ini; ada rasa ketidakadilan akibat penindasan dan perampasan nyawa, yang ironisnya dilakukan "negara" Indonesia sendiri.
Kembali lagi pada pengandaian diri sebagai mayoritas. Harus diakui pula bahwa pengalaman keetnisan saya sangatlah terbatas. Sebab itu, tak bisa saya katakan sepenuhnya bahwa saya bisa memahami "luka" orang-orang Papua dengan sepenuh hati.
Yang bisa saya lakukan hanyalah memahami pengalaman mereka dengan menggunakan "kesadaran" intelektual yang saya miliki. Dan saya tahu, kesadaran ini merupakan barang mewah bagi kebanyakan orang Papua; kualitas pendidikan mereka masih rendah sementara kekerasan militer tak pernah padam.
Bisakah kita bertanya tentang Papua? Cobalah flashback ke masa lampau dan mengandaikan diri sebagai Eropa-terdidik yang sudah lebih dulu mengenyam peradaban modern di tanah Hindia-Belanda, saya pasti akan berkata: betapa menyedihkan melihat tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh bangsa sendiri!
Dengan secuil perspektif tersebut, barangkali apropriasi budaya tampak relevan sebagai alat bedah untuk mengajukan kritik ketertindasan kelas. Tapi, benarkah konsep apropriasi bisa relevan pada segala aspek?
Mengutip lagi Ash Sarkar di The Guardian, ia tak menyangkal bahwa konsep apropriasi budaya sangat bermakna untuk mengungkap sistem eksploitasi dan dominasi, namun di sisi lain ia tetap menguji kekeliruan-kekeliruan logika yang ada di dalamnya.
Sarkar sendiri merupakan seorang jurnalis, lahir di London, keturunan India, dan memiliki kulit coklat. Menariknya, ia mengatakan seperti ini.
"... Saya sendiri merasakan kemarahan itu: seperti ketika seseorang dengan sungguh-sungguh memberi tahu saya bagaimana henna terlihat lebih baik digunakan pada kulit-putih; atau ketika saya melihat makanan pokok India dipasarkan oleh "gentrifiers" Inggris. Ada perasaan yang sangat khusus ketika Anda tahu bahwa identitas yang saya kenakan pada kulit saya adalah "pakaian" untuk orang lain--bahwa "budaya" lebih dihargai daripada "manusia" yang membuatnya. ..." (tanda kutip dan cetak tebal oleh penulis).
Kemarahan. Itulah kata kuncinya. Kemarahan yang dirasakan minoritas.