Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Kita Perlu Berhati-hati Ketika Berpikir Soal "Cultural Appropriation"

19 Agustus 2019   20:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kasus Agnez, sebagian orang merasa tak ada yang keliru dengan kepemilikan "anyam rambut" oleh mayoritas dengan alasan Papua merupakan bagian dari Indonesia. Padahal, ketika tak ada mayoritas Indonesia yang mengenakan atribut Papua, kita tak ambil pusing dengan itu. Dan kenapa ketika Agnez yang mengenakan atribut Papua dengan sentuhan modern tiba-tiba saja kita merasa bangga, sementara ketika orang Papua sendiri yang memakai atribut-atribut itu kita hanya memandangnya dengan "eksotis"?

Itu baru lingkup identitas negara-bangsa. Belum lagi bicara soal kompetisi ekonomi yang punya pengaruh besar terhadap kebijakan-kebijakan politis suatu negara.

Tapi di luar konteks negara-bangsa dan ekonomi, justru yang paling mengkhawatirkan saya adalah kepemilikan budaya atas nama ras yang eksklusif.

Jika rambut gimbal dan cornrow hanya "milik" komunitas kulit-hitam dan di luar itu tak ada yang berhak menggunakannya, bukankah sikap itu berisiko rasis karena beranggapan bahwa semua non-kulit hitam "jahat"? Padahal, jahat atau baiknya seseorang tidak ditentukan oleh ras. Sama halnya ketika orang Indonesia yang memandang semua kulit-putih itu penjajah. Bukankah di antara kulit-putih itu masih ada yang mendukung kemerdekaan Indonesia?

Konsekuensi dari keanomalian konsep ini, budaya bisa berubah menjadi sesuatu yang "kaku", "statis", "tertutup", dan "benda mati".

Pertanyaannya, bukankah budaya itu pada dasarnya "cair", "tak terbatas", "terbuka", dan "benda hidup"? Bukankah budaya itu selalu bertumbukan hingga mencapai keseimbangannya sendiri? Bukankah budaya itu tak ada yang benar-benar "asli"?

Akhirnya, tidakkah jejaring kuasa dan prasangka rasisme itu lebih rumit ketimbang hanya melihat apropriasi budaya dalam kerangka mayoritas-minoritas saja?

Setelah melihat dua sisi tajam dari pedang bernama apropriasi budaya, bagaimana selanjutnya sikap kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun