Pada kasus Agnez, sebagian orang merasa tak ada yang keliru dengan kepemilikan "anyam rambut" oleh mayoritas dengan alasan Papua merupakan bagian dari Indonesia. Padahal, ketika tak ada mayoritas Indonesia yang mengenakan atribut Papua, kita tak ambil pusing dengan itu. Dan kenapa ketika Agnez yang mengenakan atribut Papua dengan sentuhan modern tiba-tiba saja kita merasa bangga, sementara ketika orang Papua sendiri yang memakai atribut-atribut itu kita hanya memandangnya dengan "eksotis"?
Itu baru lingkup identitas negara-bangsa. Belum lagi bicara soal kompetisi ekonomi yang punya pengaruh besar terhadap kebijakan-kebijakan politis suatu negara.
Tapi di luar konteks negara-bangsa dan ekonomi, justru yang paling mengkhawatirkan saya adalah kepemilikan budaya atas nama ras yang eksklusif.
Jika rambut gimbal dan cornrow hanya "milik" komunitas kulit-hitam dan di luar itu tak ada yang berhak menggunakannya, bukankah sikap itu berisiko rasis karena beranggapan bahwa semua non-kulit hitam "jahat"? Padahal, jahat atau baiknya seseorang tidak ditentukan oleh ras. Sama halnya ketika orang Indonesia yang memandang semua kulit-putih itu penjajah. Bukankah di antara kulit-putih itu masih ada yang mendukung kemerdekaan Indonesia?
Konsekuensi dari keanomalian konsep ini, budaya bisa berubah menjadi sesuatu yang "kaku", "statis", "tertutup", dan "benda mati".
Pertanyaannya, bukankah budaya itu pada dasarnya "cair", "tak terbatas", "terbuka", dan "benda hidup"? Bukankah budaya itu selalu bertumbukan hingga mencapai keseimbangannya sendiri? Bukankah budaya itu tak ada yang benar-benar "asli"?
Akhirnya, tidakkah jejaring kuasa dan prasangka rasisme itu lebih rumit ketimbang hanya melihat apropriasi budaya dalam kerangka mayoritas-minoritas saja?
Setelah melihat dua sisi tajam dari pedang bernama apropriasi budaya, bagaimana selanjutnya sikap kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H