Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Kita Perlu Berhati-hati Ketika Berpikir Soal "Cultural Appropriation"

19 Agustus 2019   20:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah yang Dimaksud "Si Pemilik" Budaya Itu?

Tidak cukup berhenti pada pembicaraan relasi kelas mayoritas-minoritas, kita juga perlu melihat jejaring kuasa yang lebih besar lagi. Kalau menurut Nadya Karima Melati dalam artikelnya di Magdalene.co, kuasa ini membuat konsep apropriasi budaya tampak tidak masuk akal. Dan menurut saya apropriasi budaya ini "tampak kuat dari luar tapi rapuh dari dalam".

Nadya mewawancarai Geger Riyanto, seorang antropolog muda yang sedang belajar di Universitas Heidelberg, Jerman. Dari tulisan itu, saya menangkap dua poin yang patut dijadikan perhatian di hari ini, yaitu kehadiran kompetisi negara-bangsa dan kekuatan ekonomi dalam kehidupan modern.

Mengutip dari artikel tersebut, "negara-bangsa adalah konsep muda yang abstrak dan membutuhkan kegiatan atau benda-benda konkret untuk menerjemahkannya".

Jika saya boleh mengutip Anderson, menurutnya bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas terbayang dan usianya baru dua abad (Imagined Communities, hal. 11). Lalu, jika dibayangkan pada bangsa bekas-jajahan--dalam pembicaraan ini 'Indonesia'--usianya bisa lebih muda lagi. 

Jadi, bangsa bukanlah semacam warisan yang turun-temurun--kita masih suka mengatakan bahwa bangsa ini semata-mata 'warisan leluhur', seolah-olah telah ada sejak nenek-moyang manusia. Bangsa menjadi suatu proyeksi ke depan sekaligus ke belakang dengan menggenggam kuat kekinian (historical being).

Menjadi masalah ketika negara-bangsa--yang semula abstrak--membutuhkan hal-hal konkret, dengan harapan wujud itu bisa lebih "dirasakan" masyarakat. Pada budaya, kita bisa merasakan nasionalisme Indonesia--perasaan yang sangat khusus--lewat tari tradisional, pakaian adat, dan seterusnya.

Nadya dalam artikelnya mencontohkan kasus "kepemilikan" rendang. Ketika rendang diklaim sebagai milik Malaysia, tiba-tiba saja perasaan nasionalisme kita terluka. Padahal sebelum itu, kita tak begitu peduli dengan keberadaan rendang.

Kenapa bisa begitu? Sebab kita selalu mengandaikan budaya tradisional itu dengan bangun rasa nasionalisme di bawah kuasa negara. Akhirnya, budaya berubah menjadi "kaku", "terbatas", dan "tertutup", bahkan menjadi "benda mati" yang diperebutkan status kepemilikannya.

Menurut saya, jika kita lebih bijak dengan tidak menggunakan "Nasionalisme" (huruf "N" besar yang sombong), kemungkinan besar akan muncul kesangsian pada diri sendiri: bukankah rendang itu telah ada sebelum legitimasi 'negara' hadir? Bukankah Malaysia masih satu rumpun dengan kita?

Ambillah contoh pada kasus Kim Kardhasian. Jepang, sebagai negara-bangsa, merasa berhak memiliki Kimono--pakaian tradisional yang biasa digunakan secara nasional. Ketika Kim memproduksi pakaian dalam dengan nama "Kimono"--meski hanya mencomot elemen namanya saja dan bukan wujud konkretnya--perasaan nasionalisme warga Jepang seketika terluka bahkan terancam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun