Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"27 Steps of May": Jurang Sepi bagi Penyintas Kekerasan Seksual

1 Mei 2019   09:24 Diperbarui: 1 Mei 2019   15:12 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

May (Raihaanun) mengawali harinya dengan menyiapkan penampilan diri, termasuk menyetrika blus berlengan panjang yang itu-itu saja dan mematut diri di depan cermin sambil menjepit poninya dengan penuh kehati-hatian. 

Rambut panjangnya itu hampir selalu digulung rapi. May juga selalu mengenakan kaos kaki putih setinggi lutut dan sepatu selop berwarna putih. Sebelum membuka pintu kamar, May selalu mengusap-usap blusnya, memastikan lagi kalau penampilannya sudah rapi.

Lalu dimulailah rutinitas hariannya itu; membuat baju-baju boneka.

Pertama-tama, ia keluarkan seluruh kemasan boneka dari rak besar yang terpajang di kamarnya dan sang Bapak (Lukman Sardi) membungkusnya ke dalam kresek hitam besar. Tiap pagi, Bapak akan menyerahkan kemasan-kemasan boneka itu kepada Kurir (Verdi Solaiman), sekaligus akan diterimanya sekantong besar boneka anyar yang masih belum berbaju dari si Kurir.

Selanjutnya, May mulai menjahit baju-baju boneka dan segala pernak-perniknya. May mengerjakan itu semua di dalam kamarnya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Bapak bisa membantu pekerjaan May meski harus duduk terpisah di depan kamar. 

Keduanya beraktivitas dalam keheningan, tanpa percakapan. Jika sudah rampung, May memajang semua boneka di rak kamarnya. Dengan raut wajah saksama--seolah-olah tengah menghadapi hal yang sangat serius--May akan menghitung jumlah boneka yang sudah dikemas rapi.

Begitulah hari-hari May selama delapan tahun terakhir. Melakukan rutinitas yang itu-itu saja.

Mungkin kita tak akan betah jika terjebak dalam rutinitas monoton seperti May dan Bapak. Tapi bagi May, rutinitas itu adalah satu-satunya mekanisme yang ia punya untuk bertahan hidup. 

Rutinitas dan perilakunya yang serba teratur dan penuh kehati-hatian itu, disebut OCD (Obsessive-Compulsive Disorder), merupakan buah kompensasi atas rasa trauma yang mendalam akibat pemerkosaan massal yang dialaminya.

Kehidupan May membuat kita, terutama yang non-penyintas, ikutan resah. Bagaimana tidak, adegan dalam film ini sangat minim dialog dengan tempo lambat, sehingga kita kudu sabar untuk menanti dan menerka apa-apa yang hendak dikerjakan May. Ditambah lagi, pengambilan adegan perilaku OCD May itu disorot dengan detail.

May (Raihaanun) menyetrika blus berlengan panjangnya dengan penuh kehati-hatian (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)
May (Raihaanun) menyetrika blus berlengan panjangnya dengan penuh kehati-hatian (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)

Di sisi lain, efek keresahan penonton juga timbul dari suara jangkrik, detak jarum jam, dan denting sendok yang saling beradu, menjadi penanda betapa sepinya hidup mereka, antara May dan Bapak. 

Saya bisa merasakan bagaimana kecanggungan Bapak setiap kali makan bersama dengan May. Bapak hanya mampu memandang May penuh selidik dan menyimpan kegelisahan, menerka-nerka apakah putrinya hari ini baik-baik saja atau sebaliknya. Tapi May justru sebaliknya, tampak tak peduli dengan emosi-emosi yang berada di luar dirinya.

Tak hanya pakaian, kaos kaki, dan sepatu yang warnanya serba monoton, suasana kamar May pun demikian. Bahkan makanan sehari-harinya juga serba polos. Menu makanan May hanya ada tempe, telur, dan kecambah rebus, yang disandingkan dengan nasi. Makanannya berwarna putih dan tak memiliki rasa. 

Kontras sekali dengan menu makanan Bapak yang berwarna dan beraneka rasa. Warna monoton yang lekat pada May sejatinya membahasakan rasa kepada penonton, beginilah hidup May yang sepi dan kosong dalam belenggu.

Tiga Lapis Benteng pada Jiwa May, Semacam Belenggu dalam Mekanisme Hidupnya
May telah mendirikan semacam benteng besar yang hanya bisa dihuni oleh dirinya sendiri. Perbentengan May terlampau kokoh, pertahanannya bak mustahil untuk ditembus.

Ya bayangkan saja, May sudah memupuk benteng itu selama delapan tahun lamanya. Bahkan sang Bapak, sebagai satu-satunya orang terdekat, tak berdaya untuk menembus benteng yang dibangun May. 

Interaksi antara May dan Bapak hanya berkisar pada aktivitas membuat baju-baju boneka dan pada saat makan bersama. Selain itu, May akan mengurung diri di dalam kamar tidur--benteng teraman sebagai tempatnya berlindung.

Pada saat yang bersamaan, mekanisme hidup May yang monoton ini mengandung efek teror terus-menerus di dalam dirinya sendiri. May selalu merasa berada dalam situasi terancam dan berbahaya--ia selalu diliputi rasa cemas dan was-was--dan oleh sebab itu merasa perlu menciptakan mekanisme hidupnya sendiri untuk bertahan dari serangan.

Efek teror itu ada pada adegan ketika May bersentuhan langsung dengan Bapak dan si Pesulap (Ario Bayu). Setiap kali bagian tubuhnya disentuh, meskipun itu hanya tangannya, ingatan kelam May kembali terputar. May merasa sentuhan-sentuhan itu seperti semacam sinyal tanda bahaya. Trauma tubuhnya bangkit merespon sinyal itu. May sangat ketakutan kalau dirinya akan diperkosa lagi.

Guncangan rasa takut itu mendorong May untuk bersembunyi ke benteng yang paling rahasia; kamar mandi. Di situlah May menyileti pergelangan tangannya hingga berdarah. Bagi May, itulah cara untuk membebaskan tubuhnya dari belenggu teror. Jujur saja, bagian ini sangat mengiris perasaan saya sebagai penonton.

Saya menginterpretasikan ruang-ruang di dalam rumah May sebagai zona benteng yang punya perbedaan tingkatan. Ruang itu ada tiga; ruang makan, kamar tidur, dan kamar mandi. May tak pernah beranjak sedikitpun dari batas ruang ini. Bahkan ketika rumah tetangganya kebakaran dan sang Bapak mencoba menyelamatkannya, May berontak keras tak mau keluar rumah. May hanya sanggup menapakkan kakinya sampai ke ruang makan.

Ruang makan adalah alegori dari benteng terluar pada kondisi kejiwaan May. Di ruang inilah Bapak bisa berdekatan dan mengawasi May lebih lekat. Namun ironisnya, Bapak hanya mampu melihat May dari "luar". 

Tak mampu memasuki jiwa May lebih dalam. Karena ketidakmampuannya itu, Bapak merasa frustasi dan menyalahkan dirinya sendiri. Dengan menjadi seorang petinju, ia merasa menemukan tempat penyalur emosi. 

Kondisi jiwa Bapak sangat kontradiktif, di luar rumah ia sangat agresif dan pemarah. Sementara ketika di dalam rumah bersama May, Bapak bersikap lembut dan penyayang.

Bapak (Lukman Sardi) dan May (Raihaanun) selalu makan bersama di ruang ini. Dalam setiap momen ini, Bapak selalu berharap bisa berkomunikasi dengan putrinya, tapi ia hanya mampu mengamati May dari luar. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)
Bapak (Lukman Sardi) dan May (Raihaanun) selalu makan bersama di ruang ini. Dalam setiap momen ini, Bapak selalu berharap bisa berkomunikasi dengan putrinya, tapi ia hanya mampu mengamati May dari luar. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)

Selanjutnya, alegori "kamar tidur" menjadi tempat perbatasan bagi May; ia selalu merasa terlindung jika berada di tempat ini. Kamar tidur ini bisa mengkondisikan spektrum kejiwaan May pada taraf yang tak begitu buruk juga tak begitu baik, artinya relatif aman. Tapi jika sinyal bahaya itu meneror dirinya, yaitu ketika bagian tubuhnya tersentuh, May akan melarikan diri ke kamar mandi.

Alegori "kamar mandi" adalah perbentengan terakhir bagi May. Tempat tersembunyi bagi May, apalagi karena letaknya berada di dalam kamar tidur. Benteng ini adalah ruang paling privat bagi May. Bahkan sang Bapak pun tak pernah tahu jika putrinya itu suka menghukum dirinya sendiri dengan menyileti pergelangan tangan. May sengaja menyembunyikan bekas-bekas luka sayatan itu di balik blusnya yang berlengan panjang.

Di benteng terakhir ini, sebenarnya bisa saja May mati sewaktu-waktu. Tak ada yang tahu pasti sebab May menyimpan luka yang nyaris memborok itu hanya untuk dirinya sendiri. Ia tak tahu harus pergi mengadu ke mana. 

May merepresi ingatan tentang peristiwa pemerkosaan itu jauh ke dasar jurang alam bawah sadarnya, dengan harapan trauma itu tak muncul ke permukaan. Tapi sesungguhnya yang May lakukan itu hanya berputar-putar di dalam belenggu. May tak permah ke mana-mana dan harus menyangga lukanya sendirian.

Lubang di Dinding Kamar May, Sebuah Gerbang Menuju Pembebasan
Hidup May akhirnya seperti sebuah kompilasi dari upaya represi yang disusun dengan apik nan tertata. Ia selalu merasa bahwa segala jenis keteraturan dalam mekanisme hidupnya itu bisa menambal luka. 

Keteraturan memang membawanya pada perasaan nyaman dan aman, terutama untuk menghindari konflik, tapi sesungguhnya keteraturan itu hanya semu.

Jika pun ada konflik yang terjadi pada May pasca pemerkosaan, itu hanyalah riak-riak kecil. Seperti saat peristiwa kebakaran rumah tetangganya. Pada saat itu May ketakutan, bukan karena ancaman kobaran api, tapi lantaran tangannya telah dipegang dan diseret oleh Bapaknya juga karena keributan orang-orang di luar pagar rumah. Selepas itu, May bisa kembali berdamai dengan dirinya sendiri, kembali ke rutinitas-rutinitas monotonnya.

Tapi di suatu hari hidup May mulai terusik karena sebuah lubang kecil menganga di dinding kamarnya. Melalui lubang inilah May dipertemukan dengan si Pesulap.

May (Raihaanun) tengah menarik untaian kain panjang yang menyembul melalui lubang kecil di dinding kamarnya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)
May (Raihaanun) tengah menarik untaian kain panjang yang menyembul melalui lubang kecil di dinding kamarnya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)

Sejak itu hidup May berubah menuju ketidakteraturan. Ini semacam upaya penyeimbangan. Bagaimana pun, keteraturan May--yang sebenarnya semu--itu harus dilawan dengan ketidakteraturan.

Ketidakteraturan dalam hidup May ditandai misalnya pada gaya rambut May. Biasanya, May selalu menggulung rapi rambutnya jika hendak keluar dari kamar. Atau jika di dalam kamar, May akan menggulung rambut sekenanya, yang penting digulung. Tapi sejak bertemu dengan Pesulap, May berani tampil dengan gaya ikat rambut ekor kuda saat berada di luar kamarnya. May juga sempat membiarkan rambut panjangnya terurai meski hanya dilakukannya di dalam kamar.

Ekspresi gaya rambut May mungkin terkesan sepele, tapi sebenarnya penting. Saya sih jadi mengibaratkan kalau perubahan gaya rambut May itu adalah representasi dari langkah-langkahnya menuju keterbukaan diri dan pembebasan.

Selera makanannya juga berubah. Setelah delapan tahun memakan menu yang itu-itu saja, yang tanpa rasa, tiba-tiba saja May terdorong untuk mencicipi lauk-pauk yang disantap Bapak. May pelan-pelan mau membuka diri pada sesuatu yang lain yang berada di luar zona nyaman.

Langkah-langkah May menuju pembebasan tak bisa dilakukannya seorang diri. Maka peran si Pesulap jadi sangat vital; ia hadir sebagai pemantik pada jiwa May. 

Pembebasan itu hakikatnya terjadi secara bertahap dan mesti dilakukan secara halus, seperti wujud lubang di dinding kamarnya itu dari yang semula sangat kecil hingga bermetamorfosis menjadi besar. Si Pesulap hanyalah pemicu, sementara semua keputusan tetap dipegang dan dikendalikan oleh diri May sendiri.

Trik-trik sulap yang dimainkan Pesulap rupanya membius perhatian May. Awalnya ia hanya menonton apa yang dilakukan Pesulap, lambat-laun ia ikut mempelajari dan meniru trik-trik sulap hingga muncul dorongan untuk aktif berinteraksi dengan Pesulap.

Interaksi antara May dengan Pesulap juga tanpa ada percakapan, sama seperti interaksinya dengan Bapak. Tapi ada satu tuturan kunci yang dikatakan Pesulap ketika mereka berdua tengah berdansa; "Rahasia kamu apa?" tanya si Pesulap. Itulah gerbang bagi May menuju pembebasan. Pesulap menginginkan May untuk bercerita, tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diri May.

May (Raihaanun) mulai menerima sentuhan fisik yang dilakukan Pesulap (Ario Bayu), meski sentuhan itu hanya pada tangannya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)
May (Raihaanun) mulai menerima sentuhan fisik yang dilakukan Pesulap (Ario Bayu), meski sentuhan itu hanya pada tangannya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)

Momentum menuju pembebasan itu tak serta-merta berjalan mulus. Kecupan pada pipi May yang diberikan Pesulap diartikannya sebagai sinyal tanda bahaya. Seperti bisa ditebak, May akan melarikan diri ke kamar mandi, ia kembali menyayat pergelangan tangannya. Tapi momen ini benar-benar membuatnya kalut. 

Ini bukan lagi tentang sentuhan pada tangan atau pinggangnya, tapi sudah merambah ke pipinya. Tubuh May mengalami goncangan yang dahsyat, ia sungguh mengira kalau si Pesulap akan memperkosa dirinya.

Amukan yang terjadi pada May (Raihaanun) sesaat setelah Pesulap (Ario Bayu) mengecup pipinya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)
Amukan yang terjadi pada May (Raihaanun) sesaat setelah Pesulap (Ario Bayu) mengecup pipinya. (Foto: 27stepsofmay.com/Green Glow Pictures)

Inilah momen-momen klimaks untuk pertama kalinya sejak delapan tahun berlalu. Kekalutan jiwa May ini diekspresikan lewat boneka berpakaian seragam SMP yang dibuatnya. Penampilannya tampak terkoyak-koyak menyedihkan.

Kekalutannya yang paling ekstrem ia tunjukkan dengan mengubah penampilan diri persis seperti delapan tahun lalu ketika dirinya diperkosa; May kembali berpakaian seragam putih-biru dan rambutnya dikepang dua.

Dengan penampilannya yang seperti itu, May nekat memaksa Pesulap untuk memperkosa dirinya. Mungkin bagi May lebih baik rela menawarkan diri daripada harus melewati paksaan dan siksaan. 

Si Pesulap menolak tegas tapi May tetap bersikukuh melanjutkan aksi gilanya. Akhirnya ia tunjukkan adegan demi adegan bagaimana dirinya delapan tahun lalu diperkosa dan disiksa rama-ramai. Pesulap hanya bisa menyaksikannya dengan pedih.

Aksi yang dilakukannya itu boleh dibilang sebuah cara May berkomunikasi tentang luka yang selama ini ditanggungnya sendiri, tanpa seorang pun tahu bagaimana detail peristiwa kelam itu. Bagaimana pun, May harus menceritakannya pada orang lain agar luka itu tak memborok di jurang alam bawah sadarnya. May harus melewati fase ini jika mau membebaskan dirinya dari belenggu.

Di fase klimaks ini, mungkin membuat kita gelisah, apakah May berhasil menaklukkan trauma atau malah sebaliknya. Tapi saya kira film ini bukan jenis film picisan yang ending-nya memberi efek pada kita untuk bersedih-muram terus-menerus, sebab jika begitu, pesan dalam 27 Steps of May tak akan sampai. 

Hakikat film ini adalah penghayatan sekaligus perlawanan. Memang bukan perlawanan heroik nan berkobar-kobar seperti perang, tapi perlawanan yang demikian sunyi nan subtil.

Saya terharu menyimak pada bagian ending-nya. May benar-benar membebaskan dirinya sendiri dari belenggu trauma. May membuka pintu kamar dengan penampilan mengejutkan; ia telah menanggalkan atributnya yang serba monoton itu. 

May berani tampil dengan rambut tergerai dan berpakaian warna cerah. May memeluk Bapaknya untuk pertama kali setelah delapan tahun lamanya, "Bukan salah Bapak." ujar May. Lantas ia berjalan melewati sekat bentengnya selama ini, membuka pintu rumah dan berani melangkahkan kakinya ke jalanan. Ah, betapa indahnya momentum ini.

Kehidupan May mungkin hanyalah secuil gambaran yang mewakili kompleksitas trauma pasca-kekerasan kekerasan seksual yang terjadi pada para penyintas. 27 Steps of May menjadi semacam pengantar bagi orang-orang non-penyintas untuk masuk pada pengalaman yang lebih subtil. 

Selama ini kita acapkali dibombardir fakta-fakta keras tapi luput pada sisi tak kentara ini, yaitu sisi psikologis para penyintas. Kita masih suka menempatkan kasus kekerasan seksual pada perspektif kesusilaan semata, dan lupa bahwa korban ataupun penyintas tetaplah manusia yang punya kerumitan spektrum emosi pasca-kekerasan.

Tentu bahwa setiap penyintas memiliki tingkat traumatis yang berbeda-beda. Tapi tetap saja ada hal yang universal di sana, yang memerlukan kesediaan non-penyintas untuk membuka ruang yang lebih lebar untuk para penyintas. Bahwa tak semestinya kita biarkan penyintas memanggul lukanya sendirian. Apalagi memberi penghakiman sepihak yang berujung pada sikap ketidakadilan pada payung hukum.

Momentum pembebasan tak cuma berhenti dalam narasi yang digulirkan karakter May. Lebih dari itu, 27 Steps of May adalah momentum milik semua orang yang telah siap memupuk komitmen untuk tak berhenti melawan segala bentuk kekerasan seksual. Kita harus bermimpi dan berharap, kelak tak ada lagi jurang sepi berkepanjangan bagi para penyintas.

Sutradara: Ravi Bharwani
Penulis Skenario : Rayya Makarim
Produser: Wilza Lubis, Ravi Bharwani, Rayya Makarim
Pemain: Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Ario Bayu, Verdi Solaiman
Produksi: Green Glow Pictures in association with Go Studio
Durasi: 112 Menit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun