Di sisi lain, efek keresahan penonton juga timbul dari suara jangkrik, detak jarum jam, dan denting sendok yang saling beradu, menjadi penanda betapa sepinya hidup mereka, antara May dan Bapak.Â
Saya bisa merasakan bagaimana kecanggungan Bapak setiap kali makan bersama dengan May. Bapak hanya mampu memandang May penuh selidik dan menyimpan kegelisahan, menerka-nerka apakah putrinya hari ini baik-baik saja atau sebaliknya. Tapi May justru sebaliknya, tampak tak peduli dengan emosi-emosi yang berada di luar dirinya.
Tak hanya pakaian, kaos kaki, dan sepatu yang warnanya serba monoton, suasana kamar May pun demikian. Bahkan makanan sehari-harinya juga serba polos. Menu makanan May hanya ada tempe, telur, dan kecambah rebus, yang disandingkan dengan nasi. Makanannya berwarna putih dan tak memiliki rasa.Â
Kontras sekali dengan menu makanan Bapak yang berwarna dan beraneka rasa. Warna monoton yang lekat pada May sejatinya membahasakan rasa kepada penonton, beginilah hidup May yang sepi dan kosong dalam belenggu.
Tiga Lapis Benteng pada Jiwa May, Semacam Belenggu dalam Mekanisme Hidupnya
May telah mendirikan semacam benteng besar yang hanya bisa dihuni oleh dirinya sendiri. Perbentengan May terlampau kokoh, pertahanannya bak mustahil untuk ditembus.
Ya bayangkan saja, May sudah memupuk benteng itu selama delapan tahun lamanya. Bahkan sang Bapak, sebagai satu-satunya orang terdekat, tak berdaya untuk menembus benteng yang dibangun May.Â
Interaksi antara May dan Bapak hanya berkisar pada aktivitas membuat baju-baju boneka dan pada saat makan bersama. Selain itu, May akan mengurung diri di dalam kamar tidur--benteng teraman sebagai tempatnya berlindung.
Pada saat yang bersamaan, mekanisme hidup May yang monoton ini mengandung efek teror terus-menerus di dalam dirinya sendiri. May selalu merasa berada dalam situasi terancam dan berbahaya--ia selalu diliputi rasa cemas dan was-was--dan oleh sebab itu merasa perlu menciptakan mekanisme hidupnya sendiri untuk bertahan dari serangan.
Efek teror itu ada pada adegan ketika May bersentuhan langsung dengan Bapak dan si Pesulap (Ario Bayu). Setiap kali bagian tubuhnya disentuh, meskipun itu hanya tangannya, ingatan kelam May kembali terputar. May merasa sentuhan-sentuhan itu seperti semacam sinyal tanda bahaya. Trauma tubuhnya bangkit merespon sinyal itu. May sangat ketakutan kalau dirinya akan diperkosa lagi.
Guncangan rasa takut itu mendorong May untuk bersembunyi ke benteng yang paling rahasia; kamar mandi. Di situlah May menyileti pergelangan tangannya hingga berdarah. Bagi May, itulah cara untuk membebaskan tubuhnya dari belenggu teror. Jujur saja, bagian ini sangat mengiris perasaan saya sebagai penonton.