Momentum menuju pembebasan itu tak serta-merta berjalan mulus. Kecupan pada pipi May yang diberikan Pesulap diartikannya sebagai sinyal tanda bahaya. Seperti bisa ditebak, May akan melarikan diri ke kamar mandi, ia kembali menyayat pergelangan tangannya. Tapi momen ini benar-benar membuatnya kalut.Â
Ini bukan lagi tentang sentuhan pada tangan atau pinggangnya, tapi sudah merambah ke pipinya. Tubuh May mengalami goncangan yang dahsyat, ia sungguh mengira kalau si Pesulap akan memperkosa dirinya.
Inilah momen-momen klimaks untuk pertama kalinya sejak delapan tahun berlalu. Kekalutan jiwa May ini diekspresikan lewat boneka berpakaian seragam SMP yang dibuatnya. Penampilannya tampak terkoyak-koyak menyedihkan.
Kekalutannya yang paling ekstrem ia tunjukkan dengan mengubah penampilan diri persis seperti delapan tahun lalu ketika dirinya diperkosa; May kembali berpakaian seragam putih-biru dan rambutnya dikepang dua.
Dengan penampilannya yang seperti itu, May nekat memaksa Pesulap untuk memperkosa dirinya. Mungkin bagi May lebih baik rela menawarkan diri daripada harus melewati paksaan dan siksaan.Â
Si Pesulap menolak tegas tapi May tetap bersikukuh melanjutkan aksi gilanya. Akhirnya ia tunjukkan adegan demi adegan bagaimana dirinya delapan tahun lalu diperkosa dan disiksa rama-ramai. Pesulap hanya bisa menyaksikannya dengan pedih.
Aksi yang dilakukannya itu boleh dibilang sebuah cara May berkomunikasi tentang luka yang selama ini ditanggungnya sendiri, tanpa seorang pun tahu bagaimana detail peristiwa kelam itu. Bagaimana pun, May harus menceritakannya pada orang lain agar luka itu tak memborok di jurang alam bawah sadarnya. May harus melewati fase ini jika mau membebaskan dirinya dari belenggu.
Di fase klimaks ini, mungkin membuat kita gelisah, apakah May berhasil menaklukkan trauma atau malah sebaliknya. Tapi saya kira film ini bukan jenis film picisan yang ending-nya memberi efek pada kita untuk bersedih-muram terus-menerus, sebab jika begitu, pesan dalam 27 Steps of May tak akan sampai.Â
Hakikat film ini adalah penghayatan sekaligus perlawanan. Memang bukan perlawanan heroik nan berkobar-kobar seperti perang, tapi perlawanan yang demikian sunyi nan subtil.