"Hidupku ini seperti senja. Ada di antara sore dan malam."
Begitu kira-kira yang dikatakan Rianto di tengah adegan monolognya. Saya lupa bagaimana kalimat persisnya--kalau diperbolehkan untuk di-pause sejenak atau di-replay lagi, pasti akan saya lakukan, hehe. Sayangnya saya hanya bisa menonton sekali itu dan tak semua adegan saya hafal secara runut. Tak apa, setidaknya saya masih sempat menyelamatkan remah demi remah ingatan inti dari keseluruhan adegan.
Dituturkan dengan bahasa Jawa Banyumas-an, monolog dan dialog dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body, 2018) menjadi salah satu daya tarik pada film sekaligus ciri pembeda kelas sosial. Bahasa Jawa yang ngapak ini identik dengan bahasanya para rakyat, bukan bahasanya penguasa di keraton. Meski dijuluki ngapak, bukan berarti ia tak bernilai.Â
Dalam film ini justru ada banyak kata-kata sarat makna yang bertebaran di sepanjang jalannya adegan. Dan kalimat alegori perihal senja itu hanyalah sebagian kecil dari semesta makna yang tergelarkan dalam Kucumbu Tubuh Indahku.
Saya menginterpretasikan alegori senja itu sebagai roh dan nafas yang mengisi nyawa film, meskipun kata "senja" di sana hadir hanya sebagai tuturan dan bukan wujud visual "senja". Alegori kehidupan senja hadir di antara sore dan malam; seolah tak ada sekat yang tegas, ada di ambang keraguan, tetapi penuh daya magis. Inilah yang coba dimaknai Juno--tokoh utama--di sepanjang realita hidupnya; ketubuhan Juno berdiri pada ambang dua sisi itu, maskulin dan feminin.
Seperti judulnya, film ini bertutur perihal "tubuh" (awak dalam bahasa Jawa). Secara berulang-ulang, kata "tubuh" diucapkan para tokohnya. Saya tak sempat menghitung berapa kali kata itu diulang (ya kali, saya lebih sibuk menghitung kata ketimbang menyimak alurnya, kalimat ini biar tampak retorik saja, sih, hehe).Â
Yang jelas, timbul kesan bahwa ada penekanan yang serius pada kata itu, baik dalam monolog maupun dialog para tokoh--terutama pada bagian monolog di mana Rianto, sang narator yang berperan sebagai Juno dewasa, mengisahkan kembali pengalaman ketubuhan hidupnya dengan daya pikat yang luar biasa.
Kisah dalam Kucumbu Tubuh Indahku ini diilhami dari pengalaman hidup Rianto, penari dan koreografer ternama asal Banyumas. Rianto tampil dalam setiap selingan babak, suatu cara transisi yang sederhana dari satu plot ke plot yang lain. Yang menjadi tak biasa adalah penghayatan peran yang ditampilkan Rianto.Â
Monolognya itu adalah bentuk kejujuran intimasinya kepada penonton; ia tak hanya berbicara dengan bibir dan kata-kata, tapi juga dengan tubuh dan gerak tari, serta mata dan pancarannya yang tajam. Seluruh daya hidupnya itu dibangkitkan dalam kepaduan yang indah, baik tuturan, gerakan, maupun penglihatannya bergerak menjelma harmoni yang pas, tak kurang dan tak berlebih.
Kucumbu Tubuh Indahku resmi beredar di bioskop konvensional pada 18 April lalu setelah setahun sebelumnya mampir di berbagai festival film internasional, mendapat beberapa penghargaan seperti Bisato D'oro Award Venice Independent Film Critic (Italia, 2108), Best Film pada Festiva; Des 3 Continents (Perancis, 2018), dan Cultural Diversity Award under The Patronage of UNESCO pada Asia Pacific Screen Awards (Australia, 2018) (tirto.id).
Pada akhir 2018 lalu, Kucumbu Tubuh Indahku didaulat sebagai Film Pilhan Tempo. Garin Nugroho juga didaulat sebagai Sutradara Pilihan Tempo. Seperti dikutip dari Tempo edisi 16 Desember 2018, Garin mengakui bahwa penghargaan untuk kategori sutradara terbaik di dalam negeri ini baru pertama kali diperolehnya setelah hampir 27 tahun bergulat di dunia perfilman. Ini menjadi catatan penting, tentu saja.Â
Garin bukanlah sosok anyar dalam kancah perfilman Indonesia. Hampir seluruh film besutannya memiliki kualitas dan warna yang khas, yang acapkali menyentuh pada lingkup tema sosial-politik. Menurut Tempo, dalam Kucumbu Tubuh Indahku ini, Garin menunjukkan puncak kematangannya sebagai seorang sutradara. Itulah sebabnya ia didapuk menjadi sutradara pilihan tahun 2018.
Dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Garin berani menampilkan isu sensitif dan terpinggirkan di tengah kegerahan dan ketegangan sosial yang berujung pada tindak diskriminatif. Sebetulnya wacana LGBTIQ dalam narasi kesenian dan kebudayaan kita bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja dalam situasi yang sekarang ini, hal tersebut menjadi sesuatu yang tampak luar biasa.
Menjadi tantangan tersendiri bagi Kucumbu Tubuh Indahku agar diterima dalam setiap lapisan masyarakat, terutama sebagai pendingin dari tensi kekerasan dan intoleransi atas nama agama dan politik yang kerap terjadi. Juga alangkah bijaknya jika kita tak mempersempit makna film ini sebagai film yang bermuatan tema sensitif semata dan sengaja mengundang kontroversi.Â
Lebih dari itu, Kucumbu Tubuh Indahku berbicara perihal manusia dan kemanusiaan yang wajar. Memang, film ini bukanlah film komersil, tapi lahir atas semangat independensi dan kemerdekaan berpikir. Sebab itu, mari kita telusuri makna demi maknanya.
Kekerasan sebagai Wajah Inheren Maskulinitas
Juno kecil (Raditya Evandra) telah melihat dan mengalami rupa serta bentuk kekerasan. Ia melihat bagaimana guru tari lengger-nya (Sudjiwo Tedjo) membunuh seorang anak buah karena kedapatan bersenggama dengan istri sang guru dengan cara yang sadis.Â
Ia juga mengalami bentuk kekerasan yang dilakukan oleh bibinya sendiri (Endah Laras) karena Juno lebih gemar memeriksa pantat ayam dengan jari-jarinya, apakah si ayam hendak bertelur atau tidak, ketimbang menekuni pelajaran sekolah.Â
Sang Bibi menghukum Juno, menusuk jari-jari kecil Juno satu per satu dengan jarum, berharap Juno bisa kapok. Akibatnya jemari Juno diperban, ia tak bisa memeriksa pantat ayam lagi bahkan merasa tak percaya diri lagi ketika belajar menari. Jemarinya yang lentik itu mendadak seperti tak berdaya.
Dua hal itulah yang menimbulkan trauma pada diri Juno hingga dewasa. Ia membenci kekerasan. Ia tak suka melihat darah. Baginya darah merupakan bagian dari kekerasan.
Puncak kemarahan Juno terhadap bentuk kekerasan digambarkan pada adegan menjelang closing dimana ia berlari menjauhi arena pertarungan berdarah--pertarungan antara Warok-nya melawan warok lain--dan menceburkan dirinya ke dalam kolam air. Sang Warok (Whani Dharmawan) menghampiri Juno dan berusaha memeluknya di dalam kubangan air. Juno berontak, melampiaskan amarahnya. Ia menangis dalam pelukan Warok.
Dalam hal ini, "air" merupakan lawan dari "darah". Cara Juno menceburkan diri ke dalam kolam air itu adalah upayanya mendamaikan kekerasan. Sebab dengan membasuh air sebanyak-banyaknya pada tubuhnya, darah bisa larut dan lenyap. "Darah" adalah maskulin, "air" adalah feminin. Juno butuh mengimbangi hidupnya dengan kedua unsur itu agar tak menjadi trauma yang menyiksa dan berkepanjangan.
Apa yang dilakukan Juno itu sama seperti yang terjadi pada ayahnya. Dalam adegan pembuka film, tampak Ayah Juno membasuh tubuhnya dengan air--gerakannya sangat frustasi--di pinggir sungai. Awalnya saya tak mafhum mengapa. Ayah Juno juga hanya mengambil porsi adegan yang sedikit. Setelah berada di tengah-tengah plot--penerangan ini dituturkan melalui Paman Juno--saya baru paham bahwa Ayah Juno juga memiliki trauma besar pada darah.
Pada 1965 silam, di desa tempat Juno lahir terjadi pembantaian orang-orang yang dianggap komunis. Mayat-mayat memenuhi aliran sungai di desa itu. Darah ada di mana-mana. Keluarga Juno akhirnya berpencar-pencar, memutuskan hidup menyendiri. Ayah Juno pun akhirnya pergi entah ke mana, berharap agar traumanya yang nyaris gila itu bisa hilang. Ayah Juno pergi meninggalkan Juno sendirian di rumah.
"Darah" inilah manifestasi yang paling kentara dari wajah kekerasan dalam Kucumbu Tubuh Indahku. Bahkan meski darah itu muncul setitik di ujung jari Juno, tetap bermakna kekerasan jika itu dilakukan secara paksa.Â
Setelah Juno agak dewasa (Muhammad Khan), ia masih saja merasakan trauma itu ketika bagian tubuhnya tak sengaja tertusuk jarum. Ia akan menatap cukup lama pada jarum itu (atau peniti) dan titik darah yang keluar, seolah-olah tengah berupaya keras mendamaikan konflik yang berkecamuk di dalam dirinya.
Perihal "darah" dan "air" ini mungkin hanya bagian cangkangnya saja dari kerumitan konflik yang melingkupi hidup Juno. Konflik paling inti dari kehidupan Juno sebenarnya berada di dalam tubuhnya sendiri. Seperti analogi "senja" yang di awal saya katakan. Tubuh Juno mengandung maskulinitas sekaligus feminitas.
Dialog Maskulinitas dan Feminitas
Saya sangat menikmati simbol-simbol yang dimunculkan Garin di sepanjang film. Jika penonton teliti, maka akan menangkap beragam wujud binaritas, entah itu mewujud benda, kata, hal yang esensial, bahkan dalam karakter para tokohnya sendiri.Â
Saya pikir, inilah letak kekuatan Kucumbu Tubuh Indahku. Ia harus dipahami dengan memetakan makna yang tersembunyi. Cara yang seksi dan anggun. Binaritas simbol "darah" dan "air" hanya satu contoh saja dari ragam simbol yang direkam Garin dengan cara yang indah.
Secara fisik, tubuh Juno adalah tubuh laki-laki. Dalam definisi normatif, tubuh laki-laki harus diisi dengan sifat-sifat yang maskulin. Tapi masalahnya tubuh laki-laki Juno tak bisa patuh pada definisi normatif itu; jiwa dalam tubuh Juno adalah feminin.
Sejak diperkenalkan dengan tari lengger, ia belajar memahami tubuh dan jiwanya. Lengger sendiri berasal dari dua unsur kata, "leng" artinya lubang yang merujuk pada vagina, dan "ger" artinya jengger ayam jago yang menjadi simbol penis.Â
Hal ini dituturkan sang guru tari (Sudjiwo Tedjo) ketika memperkenalkan tari lengger pada Juno untuk pertama kalinya. Menurut sang guru, tubuh Juno adalah tubuh penari. Tubuh yang sangat istimewa dan indah. Tak semua orang memiliki seperti yang Juno miliki itu.
Tari lengger adalah tari yang dimainkan oleh laki-laki yang merias dirinya seperti perempuan. Dalam kesenian Banyumas, ini adalah tradisi yang alamiah dan bukan sesuatu "aib" yang mesti dibasmi seperti yang kerap diresahkan oleh masyarakat modern yang dogmatis. Jika tariannya dilakukan oleh perempuan, namanya bukan lengger, tapi ronggeng.
Dalam konteks masyarakat tradisional lainnya, suku Bugis misalnya, bahkan ada lima gender yang dikenal; oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (terlahir sebagai laki-laki kemudian menjadi perempuan), calalai (terlahir sebagai perempuan kemudian menjadi laki-laki), dan bissu (mewakili keduanya, laki-laki dan perempuan) (Dewi Candraningrum dalam pengantarnya di Jurnal Perempuan edisi ke-87).
Yang jadi persoalan adalah masyarakat di zaman ini kerap menghubungkan LGBTIQ sebagai gerakan gender yang berbasis barat, asing, dan cenderung berbahaya. Padahal, peradaban manusia telah lama mengenal keberagaman gender itu. Tari lengger sendiri disinyalir sudah ada sejak masa Majapahit, riwayatnya tertulis di dalam Serat Centhini.
Kembali lagi pada sosok Juno. Sejak kecil ia tak benar-benar mempermasalahkan identitasnya itu. Ia menerimanya sebagai sesuatu yang alamiah dan tari lengger adalah medium penyalur ekspresi dari ketubuhannya yang kompleks.Â
Homoseksualitasnya ini bahkan menemukan titik kematangan ketika ia bertemu seorang petinju laki-laki (Randy Pangalila) dan jatuh cinta kepadanya. Di masa ini tampaknya Juno merasa bebas menjadi dirinya sendiri, meski si petinju itu entah mencintai Juno sebagai kekasih, entah hanya menganggapnya sebatas sahabat.
Bersama si petinju, Juno mengalami seperti apa rasanya kasih yang memancar keluar dari dalam perasaannya begitu saja. Rasa ketertarikan ini adalah suatu keniscayaan manusia, dan cinta bukan melulu urusan hubungan badan. Juno tak berhubungan badan dengan si petinju, tapi toh ia tetap merasakan semacam kesejatian cinta.
Yang unik adalah si petinju memiliki sisi feminin meski porsinya bukan dalam cakupan orientasi seksual. Ia bercerita pada Juno, dulunya ia seorang petani dan merasa bahagia dengan pekerjaannya itu. Tapi sekarang kepemilikan tanah semakin menyusut, ia terpaksa menjadi seorang petinju taruhan.Â
Dalam setiap pertandingan, ia harus menang agar bisa melunasi utangnya pada rentenir. Jika tidak, nyawa menjadi taruhannya. Padahal dengan menjadi petinju saja ia sudah dihadapkan pada maut. Si petinju, meski berbadan kekar dan kuat, tak benar-benar nyaman dengan pekerjaannya. Ia lebih suka seandainya diberi kesempatan untuk menjadi petani lagi. Kita bisa menarik poinnya di sini, profesi "petinju" merujuk pada maskulinitas, sementara "petani" merujuk pada feminitas.
Di lain waktu, Juno membangun relasi homoseksualitasnya lagi dengan seorang warok. Dalam kesenian Reog Ponorogo, warok adalah seorang sakti mandraguna dan berperan sebagai pemain utama dalam pertunjukan. Peran sentral warok tidak hanya di atas pentas, tapi juga di dalam realitas sehari-hari. Seorang warok akan memilih seorang laki-laki (gemblak) yang punya tubuh indah untuk dijadikan pasangan hidupnya.Â
Pantangan seorang warok adalah meniduri perempuan, jika melanggar ia akan kehilangan kesaktiannya. Status sosial warok juga diakui masyarakat sebagai "pemimpin" dan memiliki gemblak merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Semakin banyak gemblak yang dipeliharanya berarti ia semakin sakti. Sebagai jaminan kesejahteraan sang gemblak, warok wajib membiayai seluruh kebutuhan hidup si gemblak. Gemblak adalah "istri" sang warok.
Namun saya melihat bahwa relasi Juno dengan seorang warok itu justru berkebalikan dengan relasi Juno sebelumnya dengan si petinju. Relasi warok-gemblak adalah relasi yang tak imbang. Meski hasrat seksualitas Juno terpenuhi, kehendaknya tidaklah bebas. Ia "objek" yang hanya dimiliki sang warok. Relasi Juno tidak berdasar kasih sayang, mungkin alasan Juno adalah agar ekonominya bisa terjamin.Â
Memang tak ada narasi eksplisit yang dibahasakan dalam Kucumbu Tubuh Indahku. Semua itu ditampilkan dalam bungkus kesamaran simbol dan lewat bahasa tubuh para aktornya. Sebab itu, barangkali ada kemungkinan lain perihal interpretasi.
Selepas pamannya meninggal, Juno pergi merantau seorang diri dan bergabung dengan grup tari lengger di desa lain. Sejak pada titik inilah tubuh Juno ditantang dengan konsep normatif yang menarik garis keras terhadap definisi seksualitas, mana yang normal mana yang tidak.Â
Zaman semakin berubah, ternyata tak semua zaman menerima gender lain selain yang dua jenis. "Zaman bebas", kata yang selalu didengungkan oleh aparat pemerintah di dalam film, berkontradiksi dengan dirinya sendiri; kebebasan itu ternyata mengandung ancaman inheren pada dirinya sendiri, pada yang dianggap "terlalu bebas" karena keluar dari pakem normatif.
Seorang Bupati (Teuku Rifnu Wikana) yang sangat berhasrat memenangkan pilkada saat itu meminta pertolongan dukun supaya bisa meraup suara terbanyak dan ia memanfaatkan Juno sebagai pemenuhan syarat dari si dukun. Ini menjadi problem, sebab Juno yang semula bebas terhadap kehendak tubuhnya, tiba-tiba mengalami intervensi dari luar diri.
Parahnya, Juno beserta rombongan lengger-nya terpaksa pindah dari desa karena datang suatu ancaman dari istri Bupati. Sang Bupati kedapatan menggenggam tangan Juno di depan publik, dan perbuatan ini sempat dipotret oleh oknum tertentu yang memanfaatkan situasi. Si oknum berasal dari suatu desa yang mengantongi suara terbanyak atas kemenangan Bupati.Â
Orang-orang desa ini meminta agar Juno dan rombongannya diusir dari desa sebab "mengganggu" moralitas. Jika permintaannya tidak dipenuhi, foto aib Bupati itu akan disebar. Maka sang istri membuat keputusan untuk memenuhi permintaan mayoritas. Meski plotnya tampak klise, namun tetap saja ini terasa miris; kekuasaan adalah segalanya.
Problem Juno dengan Bupati ini menunjukkan relasi politik yang maskulin. Tubuh Juno bukan lagi menjadi subjek, ia telah berubah menjadi objek. Karenanya, sangat mudah bagi sang Bupati memberi dalih seperti suara mayoritas itu; Juno dan rombongannya adalah anomali yang pantas disingkirkan demi "ketentraman" mayoritas.Â
Juga mudah bagi sang Bupati memberi cap "komunis baru" untuk Juno dan rombongannya. Sistem politik yang maskulin merestui tindak kekerasan pada tubuh Juno. Politik telah menampakkan wajah kelamnya.
Perihal maskulinitas politik ini, kita juga bisa tarik mundur ke sejarah kelam kita pada 1965, di mana hal serupa dialami Ayah Juno beserta keluarganya. Kehidupan rakyat dan segala aktivitasnya selalu dicurigai berafiliasi dengan PKI. Apalagi tari lengger yang basisnya ada pada kesenian rakyat. Politik adalah kekuasaan. Kekerasan atas namanya menjadi lazim dilegitimasikan. Sementara anti-tesisnya adalah rakyat itu sendiri, yang tak punya kuasa dan selalu jadi korban.
Maskulinitas mengandung problem inheren dalam dirinya sendiri, yaitu kekerasan. Segala aspek kehidupan yang memberi porsi berlebihan pada maskulinitas sangat berpotensi pada timbulnya tindak diskriminasi dan persekusi. Itulah mengapa sisi feminitas sangat diperlukan untuk mengimbangi kehidupan.
Saya pikir, problem dalam Kucumbu Tubuh Indahku tidak bisa disederhanakan dengan isu LGBTIQ sebagai suatu wacana seksualitas semata. Lebih dari itu, ia membawa problem sosial-budaya yang selama ini langgeng dikonstruksikan dalam pakem yang ajeg.Â
Sebenarnya wacana LGBTIQ adalah wacana yang kompleks, ia tak bisa dipahami jika kita masih menggunakan kacamata normatif yang hitam-putih. Memahami LGBTIQ membutuhkan keterbukaan dan keberagaman sudut pandang.
Bagi saya, Kucumbu Tubuh Indahku meletakkan problem dasar pada setiap manusia perihal binaritas yang kontradiktif, yang tak hanya terjadi pada LGBTIQ. Membangun dialog yang terbuka antara maskulinitas dan feminitas adalah kuncinya.Â
Kekerasan harus mau membuka diri pada suatu pengertian yang liyan, yaitu kedamaian. Dan Kucumbu Tubuh Indahku berhasil menyajikan sinematografi yang kaya dengan wacana dialogis. Demikianlah kiranya.
Referensi:
Artikel "Sinopsis Kucumbu Tubuh Indahku, Film Garin yang Tayang Hari Ini" di tirto.id.
Jurnal Perempuan edisi ke-87 "Keragaman Gender dan Seksualitas", vol. 20, no. 4, November 2015.
Majalah Tempo edisi 16 Desember 2018, hlm. 44-57.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H