Sejak diperkenalkan dengan tari lengger, ia belajar memahami tubuh dan jiwanya. Lengger sendiri berasal dari dua unsur kata, "leng" artinya lubang yang merujuk pada vagina, dan "ger" artinya jengger ayam jago yang menjadi simbol penis.Â
Hal ini dituturkan sang guru tari (Sudjiwo Tedjo) ketika memperkenalkan tari lengger pada Juno untuk pertama kalinya. Menurut sang guru, tubuh Juno adalah tubuh penari. Tubuh yang sangat istimewa dan indah. Tak semua orang memiliki seperti yang Juno miliki itu.
Tari lengger adalah tari yang dimainkan oleh laki-laki yang merias dirinya seperti perempuan. Dalam kesenian Banyumas, ini adalah tradisi yang alamiah dan bukan sesuatu "aib" yang mesti dibasmi seperti yang kerap diresahkan oleh masyarakat modern yang dogmatis. Jika tariannya dilakukan oleh perempuan, namanya bukan lengger, tapi ronggeng.
Dalam konteks masyarakat tradisional lainnya, suku Bugis misalnya, bahkan ada lima gender yang dikenal; oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (terlahir sebagai laki-laki kemudian menjadi perempuan), calalai (terlahir sebagai perempuan kemudian menjadi laki-laki), dan bissu (mewakili keduanya, laki-laki dan perempuan) (Dewi Candraningrum dalam pengantarnya di Jurnal Perempuan edisi ke-87).
Yang jadi persoalan adalah masyarakat di zaman ini kerap menghubungkan LGBTIQ sebagai gerakan gender yang berbasis barat, asing, dan cenderung berbahaya. Padahal, peradaban manusia telah lama mengenal keberagaman gender itu. Tari lengger sendiri disinyalir sudah ada sejak masa Majapahit, riwayatnya tertulis di dalam Serat Centhini.
Kembali lagi pada sosok Juno. Sejak kecil ia tak benar-benar mempermasalahkan identitasnya itu. Ia menerimanya sebagai sesuatu yang alamiah dan tari lengger adalah medium penyalur ekspresi dari ketubuhannya yang kompleks.Â
Homoseksualitasnya ini bahkan menemukan titik kematangan ketika ia bertemu seorang petinju laki-laki (Randy Pangalila) dan jatuh cinta kepadanya. Di masa ini tampaknya Juno merasa bebas menjadi dirinya sendiri, meski si petinju itu entah mencintai Juno sebagai kekasih, entah hanya menganggapnya sebatas sahabat.
Bersama si petinju, Juno mengalami seperti apa rasanya kasih yang memancar keluar dari dalam perasaannya begitu saja. Rasa ketertarikan ini adalah suatu keniscayaan manusia, dan cinta bukan melulu urusan hubungan badan. Juno tak berhubungan badan dengan si petinju, tapi toh ia tetap merasakan semacam kesejatian cinta.
Yang unik adalah si petinju memiliki sisi feminin meski porsinya bukan dalam cakupan orientasi seksual. Ia bercerita pada Juno, dulunya ia seorang petani dan merasa bahagia dengan pekerjaannya itu. Tapi sekarang kepemilikan tanah semakin menyusut, ia terpaksa menjadi seorang petinju taruhan.Â
Dalam setiap pertandingan, ia harus menang agar bisa melunasi utangnya pada rentenir. Jika tidak, nyawa menjadi taruhannya. Padahal dengan menjadi petinju saja ia sudah dihadapkan pada maut. Si petinju, meski berbadan kekar dan kuat, tak benar-benar nyaman dengan pekerjaannya. Ia lebih suka seandainya diberi kesempatan untuk menjadi petani lagi. Kita bisa menarik poinnya di sini, profesi "petinju" merujuk pada maskulinitas, sementara "petani" merujuk pada feminitas.