Kucumbu Tubuh Indahku resmi beredar di bioskop konvensional pada 18 April lalu setelah setahun sebelumnya mampir di berbagai festival film internasional, mendapat beberapa penghargaan seperti Bisato D'oro Award Venice Independent Film Critic (Italia, 2108), Best Film pada Festiva; Des 3 Continents (Perancis, 2018), dan Cultural Diversity Award under The Patronage of UNESCO pada Asia Pacific Screen Awards (Australia, 2018) (tirto.id).
Pada akhir 2018 lalu, Kucumbu Tubuh Indahku didaulat sebagai Film Pilhan Tempo. Garin Nugroho juga didaulat sebagai Sutradara Pilihan Tempo. Seperti dikutip dari Tempo edisi 16 Desember 2018, Garin mengakui bahwa penghargaan untuk kategori sutradara terbaik di dalam negeri ini baru pertama kali diperolehnya setelah hampir 27 tahun bergulat di dunia perfilman. Ini menjadi catatan penting, tentu saja.Â
Garin bukanlah sosok anyar dalam kancah perfilman Indonesia. Hampir seluruh film besutannya memiliki kualitas dan warna yang khas, yang acapkali menyentuh pada lingkup tema sosial-politik. Menurut Tempo, dalam Kucumbu Tubuh Indahku ini, Garin menunjukkan puncak kematangannya sebagai seorang sutradara. Itulah sebabnya ia didapuk menjadi sutradara pilihan tahun 2018.
Dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Garin berani menampilkan isu sensitif dan terpinggirkan di tengah kegerahan dan ketegangan sosial yang berujung pada tindak diskriminatif. Sebetulnya wacana LGBTIQ dalam narasi kesenian dan kebudayaan kita bukanlah sesuatu yang baru, hanya saja dalam situasi yang sekarang ini, hal tersebut menjadi sesuatu yang tampak luar biasa.
Menjadi tantangan tersendiri bagi Kucumbu Tubuh Indahku agar diterima dalam setiap lapisan masyarakat, terutama sebagai pendingin dari tensi kekerasan dan intoleransi atas nama agama dan politik yang kerap terjadi. Juga alangkah bijaknya jika kita tak mempersempit makna film ini sebagai film yang bermuatan tema sensitif semata dan sengaja mengundang kontroversi.Â
Lebih dari itu, Kucumbu Tubuh Indahku berbicara perihal manusia dan kemanusiaan yang wajar. Memang, film ini bukanlah film komersil, tapi lahir atas semangat independensi dan kemerdekaan berpikir. Sebab itu, mari kita telusuri makna demi maknanya.
Kekerasan sebagai Wajah Inheren Maskulinitas
Juno kecil (Raditya Evandra) telah melihat dan mengalami rupa serta bentuk kekerasan. Ia melihat bagaimana guru tari lengger-nya (Sudjiwo Tedjo) membunuh seorang anak buah karena kedapatan bersenggama dengan istri sang guru dengan cara yang sadis.Â
Ia juga mengalami bentuk kekerasan yang dilakukan oleh bibinya sendiri (Endah Laras) karena Juno lebih gemar memeriksa pantat ayam dengan jari-jarinya, apakah si ayam hendak bertelur atau tidak, ketimbang menekuni pelajaran sekolah.Â
Sang Bibi menghukum Juno, menusuk jari-jari kecil Juno satu per satu dengan jarum, berharap Juno bisa kapok. Akibatnya jemari Juno diperban, ia tak bisa memeriksa pantat ayam lagi bahkan merasa tak percaya diri lagi ketika belajar menari. Jemarinya yang lentik itu mendadak seperti tak berdaya.
Dua hal itulah yang menimbulkan trauma pada diri Juno hingga dewasa. Ia membenci kekerasan. Ia tak suka melihat darah. Baginya darah merupakan bagian dari kekerasan.