Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam identitas, seperti agama, suku, ras/etnik, dan budaya. Keberagaman tersebut merupakan hal yang cukup unik, namun cukup riskan terjadinya konflik antar mereka yang memiliki identitas "berbeda". Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana kebaragaman identitas tersebut, khususnya dalam identitas Agama saling bertoleransi. Dalam hal ini akan mengambil studi kasus pada daerah Aceh, dimana Aceh merupakan wilayah yang didominasi dengan pemeluk agama islam yang cukup "kental" dengan syariat islam (Riza, 2019) sehingga menarik untuk dibahas lebih lanjut bagaimana toleransi masyarakat antar umat beragama di Aceh dengan keberadaan masyarakat minoritas penganut agama lain.
Aceh sebagai masyarakat mayoritas agama islam mendapat undang-undang khusus terkait menjalankan syari'at islam yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan dibentuknya Qanun Nomor 4 Tahun 2006. Menurut Feener (Feener, 2013) penerapan syari'at islam merupakan sebuah bentuk dari pembangunan di Aceh pasca konflik dan tsunami. Melalui pemaparan tersebut, maka tulisan ini akan menganalisis bagaimana undang-undang maupun Qonun yang berlaku dalam realitas toleransi umat beragama di Aceh untuk meminimalisir konflik yang terjadi antar identitas agama.
Pemerolehan UU khusus daripada Aceh tersebut tidak lepas dari konstitusi yang dibentuk oleh negara pada pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang mana menyebutkan bahwa pemberian kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah beserta tugas pembantuannya. Lebih dalam mengenai Undang -- Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan isu perkembangan toleransi identitas beragama di sana berikut kami sajikan isi dari ayat konstitusi terkait yang mana menyebutkan bahwa :
a. Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama
b. Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam.
Dari kedua ayat diatas, bisa dikatakan bahwa meskipun Aceh amerupakan daerah keistimewaan khusus yang melandaskan adatnya pada syariat Islam melalui Qanun, akan tetapi didalamnya juga mewajibkan masyarakat Aceh untuk ikut tetap menjaga toleransi antar umat beragama. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, untuk menjaga ketentraman antar umat beragama dan toleransi yang berlandaskan syariat islam, di Aceh juga dibentuk lembaga khusus untuk menjadi wali dari masing -- masing umat beragama di Aceh, yaitu Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Lembaga wali nanggore ini diatur dalam bab 12 pasal 96 ayat (1) yaitu kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independent dan berwenang untuk membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga -- lembaga adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara -- upacara adat lainnya. Sedangkan lembaga adat yaitu dijelaskan dalam pasal 98 ayat (1) yakni lembaga yang memiliki peran sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dibidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, lembaga adat juga berfungsi sebagai fasilitator dalam penyelesaian masalah sosial kemasyarakarakatan secara adat.
Di Aceh, ada beberapa aturan yang digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah Aceh dalam mengatur aspek sosial dan hubungan antar umat beragama yang mana juga dijelaskan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 yang sebelumnya sudah tersebutkan tepatnya pada pasal 127 ayat 2. Namun, hubungan sosial dan kerukunan antar umat beragama dinilai bukan hanya sebuah persoalan teologis agama minoritas. Hal tersebut menjadi alasan mengapa hubungan sosial dan kerukunan bergama sering ditemui praktek penyiaran agama secara ilegal, pendirian rumah ibadah ilegal, bahkan keterlibatan pihak asing dalam kegiatan kemanusiaan terhadap agama minoritas. Keadaan tersebut kemudian yang sering sekali memicu terjadinya konflik antar umat beragama.
Solusi yang kemudian ditawarkan pemerintah adalah mengeluarkan dua peraturan Gubernur lainnya yang diharapkan dapat menjaga ketertiban dan ketentraman hubungan antar umat beragama. Namun, peraturan gubernur tersebut ternyata belum banyak diketahui dikalangan masyarakat Aceh khususnya umat non muslim. Peraturan tersebut bahkan dinilai sangat lemah dalam hal penegakan hukum terhadap timbulnya ketidakharmonisan hubungan antar kelompok sosial dan umat beragama, sehingga dapat memicu terjadinya konflik antar umat beragama dalam masyarakat Aceh.
Sehingga upaya terakhir yang dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Tempat Ibadah. Qanun ini secara khusus mengatur tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah. Ketiga ruang lingkup tersebut perlu diatur demi terciptanya kerukunan umat beragama di Aceh. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Terciptanya kerukunan antar umat beragama demi menjaga ketertiban umum.
2. Terjalin hubungan yang sinergis antar umat beragama untuk membahas berbagai kendala yang dihadapi dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama.