Pernah kau bisikkan tentang manisnya hari-hari
Yang tanpa sengaja terpaksa kita lalui bersama
Ada hujan pembasuh teriknya sengatan jiwa kehausan
Juga bulan purnama penerang seribu satu malam
Dan bintang sebagai pemandangan paling ciamik
Lalu saat aku terbuai dalam dongeng-dongeng melenakan
Dalam dekapan malam-malam panjang yang dingin
Dan oleh larik-larik merdu yang melelapkan tanpa jeda
Kau...menghilang tanpa sepucuk surat, pun sepatah kata
Apalagi salam perpisahan, tak akan pernah terucap
Kepergianmu layaknya mimpi yang terjaga dari kehangatan
Aku seperti mengigau dalam tiap jejak-jejak yang tertapak
Aku berdiri, aku ada, tapi entah di mana harus bersandar
Dalam keriuhan nan memekakkan, aku seperti tuli
Hingar bingar semeriah apapun hanya mampu membungkamkanku
Aku rapuh meski ada tubuh ini sebagai penyangganya
Bisu...walau aku ingin berbicara dan berteriak kencang
Lemah, padahal seluruh panca indra dan ragaku utuh
Buta, saat kedua bola mata ini terlihat jernih dan bisa mengerling
Nanar dan berada dalam titik nadir, ketika bahkan jasadmu entah di mana
Â