Pemailitan Jiwasraya memang sulit dilakukan, mengingat aset yang dimiliki perusahaan asuransi pelat merah ini hanya Rp 15,7 triliun, jauh lebih kecil dari jumlah liabilitasnya yang mencapai Rp 54,36 triliun.
Dengan demikian, pemailitan tidak dimungkinkan karena sebuah perusahaan yang pailit akan membayar utang-utangnya dengan menjual aset yang mereka miliki. Jadi Jiwasraya pun takkan mampu melunasi semua utangnya kepada pemegang polis karena asetnya hanya sepertiga dari jumlah liabilitas mereka.
Setali tiga uang dengan program restrukturisasi. Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp 22 triliun pun takkan mampu masalah Jiwasraya dalam jangka waktu pendek. Kondisi pandemi sejak tahun lalu telah menjadi rahasia umum telah memperburuk kondisi fiskal pemerintah. Artinya, akankah program restrukturisasi berjalan tuntas hingga 15 tahun ke depan?
Problem pun bertambah dengan sejumlah kalangan yang tidak puas dengan mekanisme pembayaran dalam program restrukturisasi sehingga menolaknya dan bahkan ada juga yang melakukan gugatan hukum ke pengadilan. Belum lagi dengan pilihan restrukturisasi sepihak bagi pemegang polis yang tidak menyampaikan tanggapannya atau menolak mengikuti program restrukturisasi ini.
Dalam opininya, Irvan Rahardjo pun berpendapat bahwa tekad untuk mengundang investasi akan menjadi sia-sia jika ketidakpastian hukum berlangsung dengan tidak menghormati hak-hak debitor dan kreditor dalam hubungan kepercayaan yang dijamin undang-undang.
"Kita tidak berharap menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum yang hanya akan menjauhkan kita dari negara yang ramah bagi investasi," tutup Irvan dalam opininya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H