Oleh: Ryutaro Siburian
(Pemerhati pemerintahan, asuransi dan ekonomi politik Indonesia)
Sebelum vonis dibacakan oleh majelis, sejumlah terdakwa dari kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membacakan pledoi yang pada intinya menyatakan keberatan mereka terhadap tudingan sebagai pihak yang membuat perusahaan asuransi ini oleng secara bertahun-tahun.
Syahmirwan, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, misalnya, menyoroti kejanggalan dalam proses persidangan karena tidak ada pemeriksaan terhadap pemegang saham atau Kementerian BUMN.
Dalam pledoinya, Syahmirwan berpendapat bahwa seharusnya sidang ini menghadirkan pemegang saham atau Kementerian BUMN untuk dimintai keterangan. Hal tersebut juga berlaku untuk dua orang koleganya yang pernah menjdi direksi Jiwasraya periode 2008-2018.
Hal berbeda diungkapkan oleh mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2013-2018, Hary Prasetyo. Dalam pledoinya, Hary menyatakan keheranannya mengapa dirinya disalahkan atas kerugian Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun.
Ia justru merasa telah menyelamatkan Jiwasraya dari kehancuran. Kebobrokan Jiwasraya, kata Hary, sebenarnya telah diketahui para stakeholder sebelum perkara ini menguap ke permukaan.
Pledoi-pledoi ini pun tercatat dalam "Robohnya Asuransi Kami: Sengkarut Asuransi Jiwasraya Warisan Belanda Hingga Absennya Negara" karya Irvan Rahardjo.
Dalam Bab VI buku ini, penulis pun merangkai pledoi-pledoi para terdakwa disertai dengan kronologi olengnya Jiwasraya.
Permak Laporan
Pernyataan Hary mungkin ada benarnya, mengingat kasus korupsi ini berawal dari kondisi keuangan Jiwasraya yang sulit pada 2006. Saat itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) menolak untuk menyuntikkan dana kepada Jiwasraya.
Dua tahun berikutnya, Jiwasraya pun dinyatakan insolven alias gagal bayar. Pada 2008, laba dan aset perseroan Jiwasraya menipis serta modal berdasar risiko atau Risk Based Capital (RBC) minus hingga 580 persen. Akibatnya, Jiwasraya kekurangan cadangan premi hingga Rp 7,3 triliun.