Mohon tunggu...
Ryu Kiseki
Ryu Kiseki Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja

Saya adalah seorang penulis yang senang menulis tentang gambaran kehidupan. Pemerhati politik dan menyukai hal-hal berbau psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meninggalkan Obsesi

26 Agustus 2014   13:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:32 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14090070051727054878

[caption id="attachment_355243" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: http://goo.gl/eR80Mu"][/caption]

Tidak terasa, sudah lebih dari 15 tahun kami bersama, sudah banyak yang kami alami dan lewati bersama. Kami dikaruniai tiga orang anak yang baik dan cerdas. Sayangnya, pernikahan kami semakin hari semakin terasa hambar. Kami sering bertengkar satu sama lain, mulai dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar.



Namun demikian, kami punya satu komitmen, bahwa kami tidak akan bertengkar di depan keluarga besar dan anak-anak kami. Sebuah sandiwara besar yang kami mainkan dengan sangat baik, sampai semua orang tertipu dan iri dengan keharmonisan semu yang kami ciptakan.



Hanya segelintir orang yang tahu kondisi kami sebenarnya, tentang sandiwara yang terpaksa kami mainkan untuk menjaga harga diri dan reputasi kami sebagai seorang pemimpin perusahaan besar.



Saya sebenarnya sudah muak dengan hubungan dan kepura-puraan kami, saya yakin begitu juga dia. Kami sudah lama berpisah secara tidak tertulis, walau status KTP kami masih menikah dan masih mengenakan cincin pernikahan kami.



Saya, dengan sepengetahuannya, berjalan dengan wanita lain, namun dia seolah tidak peduli. Hal yang sama, juga terjadi dengannya. Aku tidak terlalu peduli, dia ingin jalan atau bahkan berkencan dengan siapa. Namun, jujur, kadang saat dia menangis karena disakiti oleh pasangan kencannya, saya merasa kasihan juga, namun saya tetap diam sesuai komitmen awal kami untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Kami seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap.



Semalam, saya mencoba untuk berpikir ulang dan mengingat kembali semua peristiwa yang membawa kami kepada hubungan yang menyedihkan ini. Tidak lama bagi saya untuk menemukan jawabannya.



Semua dimulai dari pertemuan kami di bangku kuliah. Dia terlihat cantik dan menarik. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Berbagai usaha saya lakukan dan usahakan untuknya. Tidak butuh waktu lama untuk saya menarik perhatiannya dan menjadikannya sebagai pacar saya.



Singkat cerita, selesai kuliah, kami memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga. Saat itu,  sebelum menikah pun, saya sebenarnya sedikit ragu, ditambah lagi dengan orangtua saya yang kurang setuju dengan  hubungan kami. Namun saya bersikeras untuk menikahinya dan meyakinkan orangtua saya.



Bagi saya waktu itu, saya melakukannya karena cinta. Sekarang, setelah saya pikirkan kembali apa alasan sejati saya menikahinya, saya mengerti, bahwa saya menikahinya bukan karena cinta, namun karena dia cantik dan menarik.



Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena walau dia cantik, dia cukup matrealistis dan egois, selalu saja saya yan mengalah setiap kali kami bertengkar. Bahkan, yang paling parah, beberapa kali saya memergoki dia sedang berjalan dengan pria lain.



Saya sadari bahwa dari segi fisik, saya tidak terlihat menarik, juga tidak humoris, bahkan sebagian besar orang berkata pada saya bahwa saya sangat kaku. Namun demikian, saya juga manusia yang punya hati dan perasaan. Setiap kali dia menyakiti saya, saya selalu memaafkannya dan berusaha untuk melupakannya.



Setelah menikah, sifatnya membaik dan dia jadi lebih feminim, walau kami masih saja sering bertengkar karena perbedaan pendapat. Saya kembali jatuh cinta untuk kedua kalinya dan merasa bahwa usaha saya tidak sia-sia.



Saya terus berusaha setia dan terus mengalah, juga menasehatinya. Saya berusaha untuk mengendalikan emosi saya yang meluap-luap, apalagi saya selalu takut untuk kehilangan dia. Saya berusaha sabar ketika saya menemukan SMS mesra antara dia dan mantannya, juga untuk hal-hal lainnya yang tidak bisa saya terima.



Batas kesabaran saya mencapai puncaknya enam tahun yang lalu. Saat itu, kebetulan saya bertemu kembali dengan teman SMA saya yang pernah saya sangat sukai, namun ketika saya ingin menyatakan rasa suka saya, ternyata dia sudah punya pacar.



Awalnya kami bicara tentang nostalgia masa SMA, sampai pada akhirnya bicara tentang keluarga masing-masing. Dari sana, saya tahu bahwa dia telah lama bercerai. Entah kenapa, saya melihatnya sebagai sebuah kesempatan dan keinginan terpendam.



Saya dan dia mulai sering bertemu dan makan siang bersama. Perlahan tapi pasti, benih cinta mulai tumbuh antara kami berdua. Saya mulai membanding-bandingkan dia dan istri saya. Saya mulai merasakan sebuah perasaan yang seharusnya tidak pernah saya rasakan sebelumnya, saya merasa siap untuk bercerai.



Saya menyampaikan keinginan saya pada istri saya untuk bercerai. Namun, istri saya malah mengancam saya, bahwa jika saya melakukan hal tersebut, dia akan membawa anak-anak pergi jauh dari hadapan saya.



Lucunya, dia malah menawarkan sebuah kesepakatan. Kesepakatan untuk berjalan masing-masing dan untuk tetap tinggal satu rumah, sehingga tidak ada seorang pun yang curiga. Berkat pertemuan saya dengan teman SMA saya tersebut, saya jadi tahu banyak hal dan salah satu yang terpenting, pengakuan dari istri saya yang paling mengejutkan, bahwa dia tidak pernah mencintai saya.



Saya terdiam saat itu, hampir meneteskan airmata, tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Hati saya sakit, namun saya tetap menguatkan diri untuk bertanya apa alasan dia menikah dengan saya.



Dengan jujur, dia menjawab bahwa dia setuju menikah dengan saya, karena saya selalu memenuhi tuntutannya dan karena dia memang mencari pria mapan untuk menjamin kehidupan dia dan keluarganya.



Kasarnya, saat itu, dia “menjual dirinya” kepada saya agar saya bisa membantu dia untuk melunasi hutang orangtuanya pada bank, karena usaha mereka gagal.



Saya tersenyum kecil, antara marah dan merasa bodoh. Saya merasa tertipu selama ini oleh kepolosan dan cinta palsunya. Saat itu, saya merasa sangat menyesal tidak mendengarkan nasihat orangtua dan hati nurani saya yang masih ragu padanya.



Perlahan saya memperhatikan wajah “penipu” yang telah membodohi saya selama ini, saya mulai menyadari keriputnya yang mulai bertambah dan kecantikannya yang semakin pudar di mata saya.



Saya menarik nafas dan mencoba bersabar sekali lagi, sambil mencari cara untuk menceraikan dia dan membawa pergi anak-anak dari genggamannya. Saya akhirnya menyetujui kesepakatan kami untuk berjalan masing-masing.



Dalam waktu enam tahun, sikapnya semakin menjadi-jadi. Dia semakin membuat saya yakin, bahwa saya sebenarnya tidak pernah cinta padanya. Saya hanya terobsesi oleh kecantikannya. Namun obsesi tersebut hilang seiring dengan pudarnya kecantikan yang dia miliki.



Selama enam tahun pula, saya dan teman SMA saya semakin dekat dan kami juga berupaya untuk mengambil alih hak asuh anak sebelum saya menceraikan istri resmi saya. Kami berusaha mendekatkan diri kepada anak-anak dan mencoba membuat mereka lebih berpihak kepada kami.



Saya senang, anak-anak lebih menyukai calon ibu baru mereka daripada ibu kandung mereka yang seringkali hanya mementingkan egonya.



Dengan ini, saya semakin yakin, saya akan segera menceraikan istri saya dan mengembalikan kehidupan saya pada titik nol, atau mengulang kembali semuanya bersama anak-anak dan cinta terpendam saya. Walau saya yakin, ini tidak akan mudah, tapi hanya dengan cara ini, saya bisa mengakhiri semua sandiwara ini.



Mungkin apa yang saya lakukan adalah bentuk dari egoisme saya dan pemberontakan terhadap takdir yang tercipta karena obsesi saya. Saya harap, pernikahan selanjutnya bukan obsesi lainnya, namun karena saya memang membutuhkannya. Bukan karena dia sosok yang saya idam-idamkan, tapi karena dia memang pasangan yang tepat dan jawaban dari semua penantian saya.

Baca juga tulisan saya lainnya:

Bisakah diterapkan di Indonesia? “Suspended Coffee” dan Apa Dampaknya?

Hubungan Manusia, Definisi dan Persepsi

Tips Memilih Pasangan Yang Tepat Sebelum Menikah

Bahaya dan Cara Cegah False Memory

Menggali dan Mengembangkan Potensi Anak tanpa Membebaninya

Rasa Takut, Cinta, Naluri dan Obsesi

Kartu Kredit, Membantu atau Menyusahkan?

Bintang yang Telah Redup

Catatan Seorang Introvert

Note: Tulisan adalah karya pribadi. Silakan copy paste, namun tetap santun dengan cara memasukkan nama dan email penulis.



Penulis : Hong Kosan Djojo/Ryu Kiseki

email : ryukiseki@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun