Mohon tunggu...
Rahmad Dede Yufani
Rahmad Dede Yufani Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Suka deadline

Menulis, membaca dan berpergian. Belum memiliki apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi "Polisi Moral" dalam Melakukan Praktik "Cancel-Culture"

6 Desember 2023   01:30 Diperbarui: 10 Desember 2023   02:03 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cancel culture atau budaya meng-enyahkan, menyingkirkan atau memboikot seseorang mulai ramai ketika netizen "dipersenjatai" dan mendapat hak bersuara di ruang publik.

Jika netizen bergerak secara kolektif dan "menyerang" tokoh publik yang melakukan blunder yang mana melakukan B, maka tanpa mencari kebenaran dahulu, netizen secara frontal bisa saja melakukan pengiringan opini dan melakukan pengenyahan terhadap tokoh publik, hanya dengan dasar asumsi dari pengiringan opini yang beredar. 

Lagi-lagi, tokoh publik yang melakukan blunder tidak menyangka bahwa apa yang dia lakukan yang mana B itu ternyata salah. Padahal konsep A dan B itu relatif, karena A bisa jadi salah dan benar, begitu pula B. 

Hal tersebut tergantung penangkapan makna secara subjektif. Akan tetapi, karena netizen memiliki massa yang satu pemikiran dan koletif beranggapan bahwa B itu salah sedangkan tokoh publik menganggap apa yang dia lakukan adalah A, hanya memiliki sedikit "pendukung" maka, di sini bisa dikatakan bahwa netizen memenangkan argumen bahwa B itu salah, ya meski, sejatinya B bisa benar dan salah.

Adapun dampak dari "cancelling" ini cukup berpengaruh terhadap orang atau kelompok yang terkena budaya pengenyahan ini. Dalam beberapa kasus tertentu, terdapat penolakan sosial terhadap kehidupan pribadi orang yang terkena budaya pengenyahan ini, bisa terjadi dalam ruang publik secara daring namun hal ini hanya sementara tapi akan menjadi reputasi buruk bagi orang tersebut. Dampak lainnya, mungkin bisa terjadi tokoh publik yang sekaligus melakukan bisnis lewat platfrom daring. 

Secara langsung, pemboikotan produk  atau jasa akan terjadi dan itu pasti berpengaruh pada penjualan dan pemasukan, ya meski lagi-lagi, hal tersebut hanya sementara. Karena netizen tidak bisa terus-menerus berkutat pada pemboikotan ini dalam jangka panjang, dan juga mungkin produk yang dijualkan oleh orang yang diboikot memiliki "nilai" dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, netizen tidak bisa menyangkal bahwa produk atau jasa orang yang sedang mereka boikot sukar dilepas.

Seseorang dapat melakukan "cancel-culture" karena mendapat "senjata" secara gratis dan juga mendapatkan massa di media massa lewat pengiringan opini, dan hal itu bisa berhasil karena dilakukan secara koletif. Jika tidak platfrom daring yang terbuka, mungkin budaya pengenyahan ini hanya akan terjadi di ruang tertutup dan tidak bisa meluas. 

Keinginan netizen melakukan "cancelling" karena didasari ketidak-sukaan dengan pendapat orang lain dan juga menyinggung. Padahal semua orang memiliki hak yang sama berpendapat, jika dirasa tidak sependapat atau tidak senang dengan apa yang dilakukan seseorang, saya rasa tidak perlu melakukan intimidasi atau pengecaman terhadap orang yang tidak sependapat. 

Netizen mencerminkan bagaimana demokrasi di sebuah negara bekerja, karena demokrasi tidak akan memberikan hasil yang baik, jika masyarakatnya tidak memiliki keterampilan berdemokrasi yang baik .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun