Semarak datangnya bulan Ramadan, tidak hanya dirasakan oleh satu orang saja. Melainkan, euforianya terasa hampir di seluruh penjuru Nusantara. Berbagai gaya dalam menyambutnya pun berbeda-beda, sesuai dengan tradisi di setiap daerah. Tetapi, apakah tradisi dalam menyambut Ramadan masih terpelihara apik seiring modernisasi yang terus berkembang?
Budaya dalam menyambut bulan Ramadan, menyeret saya dalam kenangan 22 tahun yang lalu. Saat ayah dan ibu sering kali mengajak berkunjung ke kampung kelahiran ayah di Trenggalek, Jawa Timur. Sejak masih kecil, ayah mengenalkan tradisi turun-temurun dalam menyambut Ramadan.Â
Melalui tradisi tersebut, kami dikenalkan pentingnya nilai-nilai kebersamaan, keguyuban dan gotong-royong dalam bingkai keharmonisan saat menyambut puasa. Bahkan momen itu berlangsung hingga ketiga putrinya ayah dewasa dan berkeluarga.
Tradisi yang masih lekat dalam ingatan adalah meriahnya hiasan kain menyerupai umbul-umbul warna warni di setiap jalan perkampungan, yang dipasang oleh warga sebagai tanda masuknya bulan Ramadan. Dan biasanya, warga secara bergotong-royong memasang umbul-umbul tiga sampai lima hari menjelang puasa.Â
Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah kerap kali mengajak saya untuk turun tangan membantu saudara-saudara yang kebagian memasang umbul-umbul. Karena saat itu saya masih terlalu kecil, ayah hanya menyuruh untuk mengikat dan merangkaikan kain umbul-umbul di bambu dan tali. Rasanya saat itu, senang sekali. Karena bisa ikut 'bermain' meskipun bukan permainan untuk anak-anak.
Selain umbul-umbul, tradisi lainnya adalah nyekar atau ziarah kubur untuk mendoakan keluarga yang meninggal dunia. Tradisi ini, selalu dilakukan pagi hari sebelum puasa pertama. Tradisi nyekar adalah hal yang paling saya suka kala itu. Karena, saat akan pergi ke makam embah, ayah selalu mengajak berjalan kaki melewati sungai dengan bebatuan kali yang besar dan air yang masih jernih. Naluri anak-anak pun keluar, belum sampai makam saya sudah basah duluan.Â
Setelah nyekar, masih ada satu keistimewaan lagi yang tak boleh ketinggalan yakni megengan. Jadi, sembari menunggu ketetapan puasa pertama, sejak siang para saudara ayah sudah sibuk di dapur membuat makanan dan camilan untuk dibagi-bagikan ke para tetangga. Dan selepas magrib, orang-orang berkumpul di musala untuk tahlilan bersama dan ditutup dengan makan tumpeng.
Dan sejak beranjak dewasa tepatnya ketika anak-anak ayah mulai berkeluarga, beliau mulai jarang mengajak pulang kampung ke Trenggalek. Namun, hal tersebut tak menghilangkan tradisi yang sudah dijalani sejak turun-temurun. Ayah dan ibu tetap mengajak nyekar, tapi tidak di Trenggalek melainkan di Mojokerto kampung halaman ibu. Selain itu tradisi megengan juga tetap dilakukan meski di rumah sendiri.
Lalu, apakah saat ini tradisi turun-temurun itu masih terjaga atau justru tergerus oleh waktu?Â
Sedari kecil, saya dibesarkan di sebuah kota yang jauh dari keguyuban warga perkampungan. Tetapi, sejak kecil pula orangtua sudah mengenalkan dan mengajarkan saya tentang tradisi dengan latar belakang berbeda yang mereka miliki. Baik tradisi di Trenggalek ataupun Mojokerto.Â
Meski tinggal di kota, orangtua saya tak pernah kehabisan akal untuk menularkan tradisi mereka ke anak-anaknya. Mulai dari nyekar, megengan, maleman, tadarus di musala, salat tarawih berjamaah, hingga 'mencicipi' klotekan di belakang rumah untuk membangunkan orang-orang sahur.Â
Mungkin, lain dahulu lain pula sekarang. Jika dulu masih ada anak-anak yang klotekan keliling di rumah, kini hanya ada suara-suara pembangun yang saling bersahutan terdengar dari corong musala. Mungkin, saat ini tradisi-tradisi tersebut masih terjaga apik di kampung halaman ayah dan ibu, tapi tidak di perkotaan tanah kelahiranku. Meski begitu, setidaknya saya sangat bersyukur bisa menangi dan merasakan tradisi yang telah ditularkan orangtua. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H