Sedari kecil, saya dibesarkan di sebuah kota yang jauh dari keguyuban warga perkampungan. Tetapi, sejak kecil pula orangtua sudah mengenalkan dan mengajarkan saya tentang tradisi dengan latar belakang berbeda yang mereka miliki. Baik tradisi di Trenggalek ataupun Mojokerto.Â
Meski tinggal di kota, orangtua saya tak pernah kehabisan akal untuk menularkan tradisi mereka ke anak-anaknya. Mulai dari nyekar, megengan, maleman, tadarus di musala, salat tarawih berjamaah, hingga 'mencicipi' klotekan di belakang rumah untuk membangunkan orang-orang sahur.Â
Mungkin, lain dahulu lain pula sekarang. Jika dulu masih ada anak-anak yang klotekan keliling di rumah, kini hanya ada suara-suara pembangun yang saling bersahutan terdengar dari corong musala. Mungkin, saat ini tradisi-tradisi tersebut masih terjaga apik di kampung halaman ayah dan ibu, tapi tidak di perkotaan tanah kelahiranku. Meski begitu, setidaknya saya sangat bersyukur bisa menangi dan merasakan tradisi yang telah ditularkan orangtua. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H