Sedikit harapan darinya  untuk dapat menurunkan ilmunya kepada generasi penerus di kelurganya. Tapi, keinginan itu harus ditepis jauh-jauh. Pasalnya, ia merupakan generasi terakhir dan tak ada keturunan laki-laki lain di keluarganya.
 "Saya generasi terakhir yang bisa seperti ini. Sedangkan anak saya cuma satu itu pun perempuan. Anaknya adik juga perempuan," jelasnya pria 59 tahun ini.
Di tengah kepanikannya dan gempuran alat modern, Supriyo tetap bertahan menggunakan alat tradisional. Meskipun dari pemerintah daerah telah memberikan bantuan kepada lima perajin pandai besi sebuah alat modern. Sayangnya, ia menolak.
"Dulu sempat ada bantuan alat blower, tapi saya tolak. Karena saya ingin mempertahankan pembuatan ini secara manual," tegasnya.
Namun, seiring berjalannya waktu para perajin itu mulai mengalami penyusutan. Pun mulai banyak yang memilih gulung tikar dibanding harus bertahan diantara himpitan persaingan dan modernisasi.
"Kalau yang bertahan sampai saat ini masih ada lima orang. Tapi hanya saya yang memakai cara tradisional, kalau lainnya sudah pakai mesin," ungkap Supriyo.
Meski harus tertatih-tatih dalam mempertahankan pande besinya, Supriyo tak pernah pantang arah. Buktinya, hingga saat ini ia masih sering menerima pesanan dari luar daerah hingga provinsi. Seperti Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, ia juga kerap mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H