Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Indonesia Bingung Corona, Pilih Ekonomi atau Nyawa?

23 Mei 2020   12:15 Diperbarui: 26 Mei 2020   04:09 7627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo gaes, agan, mas dan mbak bro sekalian. Saya langsung aja ya.

Gini, menyambung komen warganet, semua yang merasa paling paham soal Corona, dan yang memberi stigma negatif pada masyarakat yang dianggap "bodoh" soal Corona.

Ada negara yang siap menghadapi Corona? Andaikan ada, berarti teori konspirasi itu benar. Negara yang siap menghadap Corona berarti negara itu tahu kalau virus Covid-19 akan beredar. Ada? Tidak sama sekali.

Tahukah anda di India dan US itu kebijakan pemerintahnya gonta-ganti berapa kali? Jauh lebih banyak dari kita. Bahkan Trump seringkali berselisih pendapat dengan Dr. Anthony Fauci, ketua Gugus Tugas penanganan virus Corona di US.

Trump yang glamor terpaksa harus hutang sana-sini, sampai 3 trilyun dolar US, rekor. Trump dibuli habis-habisan, korbannya jauh lebih banyak dari kita. Trump stress berat.

Di India, Narendra Modi pun kebingungan. Mau lockdown? Salah, orang membludak borong pangan. Bahkan di Bihar, banyak orang nekat berjalan kaki ratusan kilometer demi pulang kampung. Tidak di lockdown? Ngeri-ngeri sedap.

Rusia pun begitu, sama-sama diprotes apapun kebijakannya. Bangladesh? Gak beda jauh. Di Indonesia juga, ruwet.

Apa persamaan negara-negara yang saya sebut tadi? Sama-sama penduduknya banyak, banyak suara, banyak kepentingan.

Hampir setiap hari negara-negara tersebut mengganti kebijakan. Kenapa? Karena memang tidak ada protokol baku pada kasus pandemi, semua disesuaikan dengan keadaan. 

Kita melawan musuh baru, lebih tangguh dari Thanos, tak terlihat. Bergerak kita mati, berdiam diri pun kita mati, mati kelaparan.

Karena Corona, melorotnya ekonomi dunia tidak main-main. Prediksi jika Corona ini sampai Agustus saja, akan terjadi PHK di Indonesia sampai 7.5%, pengangguran naik 2.2% dari 2019. Berapa angkanya? Fantastis: plus minus 2.9 juta jiwa bakal tanpa pekerjaan.

Di Amerika lebih tinggi lagi angkanya. India jangan ditanya.

2.9 juta jiwa bakal kehilangan pekerjaan tanpa ada penggantinya. Lha banyak pabrik dan perusahaan yang tutup, mending cuma tutup bro, gulung tikar, alias bangkrut.

Mau buka usaha? Es kopi susu gitu misalnya. Yang beli siapa? Orang-orang sudah di PHK, yang masih kerja pun gaji dipotong. So, alokasi anggaran rumah tangga cuma untuk satu tok: Makanan. Boro-boro ngupi santuy sambil liat senja. Pret.

Lebih jauh lagi, pengeluaran untuk sekolah anak kita pun sudah tidak ada. Asumsi dari 2.9 juta jiwa tadi punya satu anak saja, maka potensi 2.9 juta anak putus sekolah. Padahal rata-rata ada 2 anak sekolah dalam satu rumah tangga, bahkan ada yang 5 anak!.

Ah, ngayal lu bro!

Eits, kata siapa om? Dari driver ojek online yang saya naikin sore ini, dia cerita kalo anaknya bakal ditunda masuk SD karena gak sanggup bayar. Awalnya dia jadi ojek online sebagai sampingan, tapi karena pabrik tempat dia kerja tutup, jadilah ojek online sebagai penghasilan utama.

“Boro-boro THR om, gaji bulan Mei ini aja masih di awang-awang..” Ujarnya.

“Trus, sampeyan mau gimana?”

“Ya yang penting bisa makan deh, sama anak masuk sekolah, bodo amat lah itu corona, saya sama istri mau coba jualan baju, siapa tau masih ada yang beli kan om, mau lebaran gini”

Itu yang saya dengar. Terus saya harus ceramah gitu kalo ini-itu-ini-itu soal virus? Gak bakal ngaruh. Perut sudah berbicara.

Kata filsuf kuno; “jika perut telah berbicara, itulah lidah sebenarnya, maka diamlah anda semua wahai jelata dan penguasa”.

Lebih jauh lagi, jika terjadi penghentian total dalam jangka lama, maka tentunya inflasi gila-gilaan, harga bahan pokok melambung, tidak terkendali. Perut menguasai otak, menguasai perasaan.

Di titik ini, munculah para oportunis yang mulai menjual kalimat provokatif “Revolusi! Pemerintah tak bisa menjamin rakyatnya!!”. Bisa ditebak selanjutnya. Chaos.

Ini fakta, toh saat ini mulai terlihat akun-akun palsu yang berteriak seperti itu, akun-akun ini mulai sering bersliweran di instagram resmi pemerintah atau di media kredibel seperti Detik atau Kumparan.

Siapa yang tertawa? Anda bisa menebak sendiri. Lalu jika revolusi terjadi, apakah lantas ekonomi membaik? Pret! Revolusi di tengah wabah sama saja bunuh diri massal. Kita sedang menuju titik kehancuran total.

Kita? Saya sih ogah.

Untungnya jelek-jelek gini saya pernah ikutin kelas mentor leadership di level pengambil keputusan. Dan memang mengambil keputusan strategis itu sulitnya luar biasa, ada banyak variabel dan data yang memang tidak bisa dilihat oleh level di bawah.

Gini bro..

Itulah mengapa semua pengambil keputusan wajib memakai “bird view”, istilah melihat sesuatu dari atas agar semua jelas terlihat. Anda akan merinding melihat apa yang anda lihat ketika anda ada di “atas”. Begitu jelas, sampai asap rokok supir angkot pun anda bisa lihat.

Dan karena itu, keputusan selalu berlaku dua hal: Keputusan terbaik atau keputusan terbaik dari yang terburuk.

Salah satu ujian pertanyaannya seperti ini: Jika ada kebakaran, di situ ada seorang anak dan seorang ibu, dan kondisi harus menyelamatkan salah satunya, siapa yang Anda selamatkan?

Lalu, mana jawaban yang benar? Jika Anda berpikir besok, maka selamatkan ibunya, jika Anda berpikir 5-50 tahun ke depan, selamatkan anaknya.

Di mana posisi penguasa? Ya, selamatkan 5-50 tahun ke depan, karena di situlah generasi kita hidup. Negara ini tetap ada jika regenerasinya tumbuh.

Dan dalam kondisi darurat seperti ini. Setiap hari harus selalu di ambil keputusan di dalam setiap pilihan terburuk.

Jika roda ekonomi dihentikan, mungkin virus penyebarannya bisa dibatasi, tapi sampai kapan? 3-4 bulan? Bahkan negara yang sudah nol kasus saja bisa muncul lagi.

Saya juga tidak bilang bahwa teori herd immunity bisa dipakai, meskipun logis. Karena angka infeksi di dalam herd immunity itu terlalu fantastis, 70-80% orang di dalam suatu negara harus terinfeksi dulu. 

Ya mana ada kawan. China, Italia, dan Amerika saja populasi terjangkit (positif Covid) kurang dari 1% dari total warganya.

Tak ada satu ahli pun di dunia yang bisa menjamin kapan kurva melandai dan bahwa hilang sama sekali, lockdown atau PSBB hanyalah "buying time" sampai vaksin sudah ditemukan. 

Kita bukan ahli nujum. Jangan sampai ketika kurva melandai, justru negara kita sudah porak poranda.

Ibarat sepeda bobrok, sebobrok-bobroknya sepeda tetap bisa berjalan hanya JIKA rodanya berputar. Indonesia, sebobrok apapun dia, tetap bisa berjalan jika ekonominya berputar.

Dan sayangnya, pemutar ekonomi Indonesia adalah tangan-tangan keriput buruh pabrik, raungan knalpot tukang ojek, jaring-jaring nelayan, tukang onde-onde, betis para tukang becak, gemerincing wajan tukang nasi goreng, jemari lincah para karyawan kantoran, tukang tagih utang, tukang es dawet, penjual kaos oblong, bahkan mas dan mbak pegawai Indo dan Alfa.

Merekalah yang anda anggap "bodoh" dan "egois" dalam rantai pasok ghibah Corona ini.

Apalagi di suasana lebaran. Jangan ngemeng soal mending di rumah daripada beli baju baru. Tradisi puluhan tahun tidak semudah itu diubah, ferguso! Ingat rantai pasok di atas, yang jualan baju juga butuh makan. Bukan mereka egois. Protokol Covid-nya yang saya anggap ngawur.

Indonesia negara padat karya, bung!

Di mana posisi kita?

Saat ini kita berdiri di sini sebagai kelas menengah berisik, yang punya secuil tabungan untuk bertahan hidup 4-5 bulan ke depan tanpa pemasukan, tapi tetap bergaya hedon demi popularitas, pembuat konten sampah, penghamba ig story atau sekedar pamer silaturahmi atas nama agama.

Tapi di sisi lain, ada banyak kelas bawah syahdu, yang hanya berharap hari itu mereka bisa makan..

Lalu? Mengandalkan bantuan kelas menengah tadi?

Bantuan ada, Alm Didi Kempot bahkan sampai mengumpulkan 7 milyar, jauh lebih banyak dari pada acara ketua MPR yang justru kontroversi dan bikin miris.

Tapi sampai kapan? Itu pertanyaannya. Sampai kaum menengah berisik dan kaum atas habis duitnya karena kerjaan mereka tutup semua?

Negara donk bantu rakyatnya? Kalo anda masih nanyak gitu brarti fix anda cuma baca wa grup keluarga yang kontennya didominasi kaum sakit hati kalah pilpres.

Jadi, dengan nalar sadar penuh logika, yang paling logis bagi saya adalah tetap melanjutkan hidup dengan protokol covid-19 yang jelas. Protokol dari Kemenkes masih belum jelas? Kita bahas nanti, tulisan ini sudah kepanjangan.

Sepeda harus terus di kayuh, life must go on. New normal? Mungkin.

Indonesia jangan terserah, kita harus bangkit bersama, harus hidup bersama.

Tapi, jangan harap ada keputusan yang memuaskan semua pihak ya bro. Karena yang bisa memuaskan semua pihak itu hanyalah mie instant.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun