Yup, sebait lirik sederhana yang diuntai dengan hati menghasilkan karya yang memiliki daya magis. Percayalah, saat itu saya hanya mampu memasang earphone, memutar musiknya, menghisap kretek sambil mata berair menggenang rindu. Sempurna.
Namun, tidak sampai disitu..Didi Kempot rupanya bukan hanya soal cinta, patah hati dan kemiskinan, tapi juga politik.
Ketika Iwan Fals menggebu dengan Surat Buat Wakil Rakyat, Efek Rumah Kaca melahirkan Jalang dan Di Udara, begitupula dengan Slank, Navicula hingga Koil dengan besutan grunge berlirik keras dan kritis. Didi Kempot justru jauh membumi.
Tapi lihatlah apa yang terjadi di jalanan ketika gerakan "Gejayan Memanggil" di Jogja? Mahasiswa tampak lebih santuy sambil mengibarkan spanduk bertuliskan lirik lagu Didi Kempot. Mulai dari Rezim "Cidro", "Ojo mblenjani janji" atau "Trimo mundur timbang loro ati".
Kalimat tidak lagi sangar, kritik satir cenderung patah hati. Didi Kempot adalah representatif tidak langsung dari Civil Society.
Ya, Didi Kempot adalah satu-satunya musisi yang terlibat di politik tanpa politik itu sendiri.
Baru saja kita disuguhkan kembali era romantisme ala Oliver Goldsmith versi patah hati lengkap dengan gaya heroic couplet atau William Wordsworth (The Solitarity Reaper) bergaung dengan semangat revolusi Perancisnya. Dan hingga kini saya masih tercenung di pojokan sambil memutar Layang Kangen.Â
Aaarrggghhh!!....
Kini, beliau telah tiada, beliau telah bergabung dengan pendahulunya, Ranto Gudel sang Ayah dan Mamiek Prakoso sang kakak.
Dan kini kita hanya bisa bercerita bagaimana dia mengumpulkan donasi 7,6 milyar rupiah dari konser amal, amal jariyah fantastis yang dia sempat lakukan di akhir hayatnya. Suatu hal yang mungkin dia ceritakan di alam sana.
Sebelum akhirnya dia berjalan menemui Glen Fredly sambil menyiapkan suatu ide konser bersama.