Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ucapan Ahok Akan Dibuktikan, KPK Terlibat?

4 November 2019   08:55 Diperbarui: 4 November 2019   17:30 26673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anggaran yang fantastis, anggaran lem aibon senilai 82 milyar dan anggaran Dinas Pariwisata DKI yaitu anggaran buzzer sebesar 5 milyar untuk 5 buzzer (1 milyar per orang) akhirnya menyeret mundurnya Kepala Bappeda DKI dan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan DKI. 

Saya sudah menulisnya di tulisan sebelumnya, di sini. Tapi saya ingin tulis lagi menyusul komentar Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bekas Gubernur DKI sebelumnya yang dikalahkan Anies Baswedan di Pilkada DKI terheboh tahun 2017.

Ahok berkomentar bahwa sistem e-budgetting DKI sudah dibuat detail dan dimasukkan di awal (transparan), gunanya agar masyarakat bisa mengoreksi jika ada yang aneh-aneh. Dengan kata lain, Ahok ingin menyebut Gubernur Anies tidak transparan sejak awal.

Ada alasan yang logis di balik perkataan Ahok.

Di era Gubernur Jokowi hingga Djarot, anggaran di buat detail dan di-upload kedalam sistem e-budgetting sebelum pembahasan di DPRD DKI, sehingga transparansi terlihat di sana. Pada era Anies, hal itu berubah, anggaran di-upload kedalam sistem e-budgetting setelah pembahasan di DPRD, alasan Anies supaya tidak ribut.

Alasan yang aneh, keributan justru terjadi ketika ada anggaran "aneh" di sana. Keributan di masyarakat adalah bukti bahwa transparansi terjadi, ada proses demokrasi di sana. Jika anggaran oke, masyarakat pun tidak akan ribut.

Kebijakan Gubernur Anies ini dipertanyakan sejak awal, kenapa di-upload setelah pembahasan di DPRD DKI? Jika posisi anggaran sudah di setujui DPRD, deal-deal politik dan uang bisa saja terjadi.

Misal, ada total rencana anggaran 100 miliar, di situ ada anggaran lem aibon 82 miliar, ini tidak diekspos ke publik. Ketika disetujui DPRD DKI dan diekspos ke publik anggaran ini sudah hilang. Tapi total jumlahnya tetap 100 miliar. Lem aibon tadi berganti item lain, who knows?

Kok anda pesimis? Ya iyalah! Koruptor aja masih berkeliaran. Bahkan anggota DPD Fahira Idris disini ikut membela Anies, dan terkesan ant-kritik terhadap masyarakat, buktinya Ade Armando dipolisikan. Ada apa?

Apalagi biasanya di perusahaan manapun, upload dokumen sepenting anggaran selalu atas persetujuan penanggung jawab utama, apalagi ini Ibu Kota Negara. Mosok penanggung jawab utama (Gubernur) tidak tahu?

Anies seperti kelabakan mencari alasan, dan akhirnya memakai alasan sistem e-budgetting. Mungkin dia lupa bahwa sistem tergantung dari operator si tukang input. Tukang input niat korup ya sistem akan korup juga. 

Mau buat artificial inteligent? Boleh saja tapi akan ada jutaan variabel yang digunakan.

Buktinya, Kepala Bappeda DKI mundur, disusul Kadis Pariwisata. Pointnya apa? Yang salah bukan sistem, tapi orangnya. Oknum pelaku korupsi, entah di dalam Bappeda sendiri, di Dinas Pariwisata atau yang lain.

Tapi, terus terang saya juga tidak percaya Ahok gitu saja, kasihan Anies selalu disudutkan. Sehingga saya menginginkan ucapan Ahok agar dibuktikan.

Dibuktikan bagaimana? Dibuktikan dengan masuknya KPK ke dalam kisruh penyusunan anggaran, toh fungsi KPK bukan cuma tangkap tangan, tapi juga pencegahan kan?

Jika sekelas Menteri Keuangan dan Mendagri saja sudah turun tangan, berarti Presiden sudah mencium gelagat busuk. Di sini Anies harus membuktikan dengan gentlemen bahwa dirinya dan jajaran Pemprov itu bersih.

Ada dua keuntungan KPK jika KPK masuk ke dalam kasus ini. Pertama, pembuktian KPK bahwa tuduhan masyarakat itu salah. Tuduhan bahwa KPK melindungi Anies Baswedan karena di dalam KPK ada Novel Baswedan yang notabene nya adalah sepupunya.

Di mana sampai pada pertanyaan "kisruh anggaran ini jangan-jangan KPK sendiri terlibat?"

Kedua, tuduhan bahwa di dalam tubuh KPK bersarang bibit radikalis. Sudah bukan rahasia jika KPK dituding disusupi radikalisme, dari mulai mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, terlihat di tengah aksi massa saat sidang kedua Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) bersama GNPF, FPI, Alumni 212, dan Forum Umat Islam (FUI).

Lalu kemudian mantan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) yang menuding Pemerintahan saat ini adalah rezim yang korup. Ditambah ketika BW menjadi kuasa hukum tim Prabowo ketika kisruh hasil Pilpres 2019.

Padahal kita melihat sendiri bagaimana di belakang Prabowo berdiri kelompok Islam garis keras, bahkan diantaranya berstatus radikal. Bendera Ar-Rayah yang sering dipakai Hisbut Tahir (HT) hampir selalu tampak ketika Prabowo kampanye.

Meskipun BW bukan dari golongan radikalis, tapi beliau terikat dalam gerbong dukungan yang sama.

Jadi momen kisruh anggaran ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh KPK, bahwa Anies bukanlah anak emas. Begitu juga status Novel di KPK, Novel bukanlah anak emas, Novel tetap berstatus senior penyidik biasa. Novel juga tidak perlu terlalu vokal melebihi wakil ketua KPK atau jubir KPK itu sendiri.

KPK harus membuktikan bahwa dirinya tetap di belakang Pemerintah. Dan mudah-mudahan kasus ini adalah momen yang pas. 

"Momen apa kang?? Momen jadi buzzer satu em?? Sikaat kapan lagi kang!!!" Ujar Panjul sore-sore..

"Satu em? Satu empaang? Sa aeee ni sisaan bolpen APBD!!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun