Saya terkaget-kaget ketika membaca sebuah artikel Headline di Kompasiana yang menulis bahwa kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan wakilnya Archandra Tahar membahayakan negara, terutama skema baru production sharing contract (PSC) dari cost recovery menjadi gross split.
Dikatakan bahwa skema gross split justru amat merugikan negara, negara dianggap sengaja berlepas tangan terhadap pemain bisnis migas tanpa kendali. Benarkah demikian?
Gross split adalah skema pembagian hasil produksi dengan pembagian prosentase dilakukan di depan sebelum perhitungan laba, beda dengan cost recovery di mana pengeluaran kontraktor migas ketika eksplorasi (studi-konstruksi-eksplorasi) di klaim ke Negara.
Kedua-duanya sama-sama menggunakan model kontrak kerja, di mana Pemerintah tetap memiliki kuasa penuh untuk mengatur para kontraktor migas.
Dengan begitu skema gross split lebih mengamankan pemerintah dari sisi laba sebab pemerintah sudah tidak ambil pusing dengan segala pengeluaran yang dilakukan oleh kontraktor migas selama masa eksplorasi, tidak ada lagi biaya ini itu yang kemudian bisa di charge sebagai pengembalian biaya seperti era cost recovery.
Disinilah peran skema gross split untuk memangkas alur korupsi di tubuh besar Industri Minyak dan Gas, otomatis hilang sudah pandangan masyarakat bahwa SKK Migas mempermainkan biaya operasional, tidak ada lagi uang negara bermain disitu.Â
Tinggal bagaimana pemerintah memberikan insentif yang pas kepada para kontraktor migas (KKKS) jika menemukan medan eksplorasi yang sulit, karena umum bahwa kontraktor migas akan selalu rugi di awal.Â
Di sinilah timbul ide insentif dan penyesuaian pajak seperti pada Permen ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang diperbaiki Permen ESDM Nomor 52 tahun 2017. Khusus untuk pajak ada Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2017.Â
Intinya dengan adanya perbaikan Permen ESDM dan PP No 53 ini diharap skema gross split dan cost recovery persentase perbedaannya tidak terlalu jauh, namun lebih akuntabel dan transparan.
Jadi di mana letak skema gross split ini membahayakan negara?
Sangat absurd jika dikatakan skema ini ingin menggembosi kendali negara atas migas. Negara tetap sebagai pengendali dan penguasa kontrak kerjasama, itu cukup.