Saya pernah bekerja di kontraktor konstruksi migas. Saya melihat sendiri bagaimana perusahaan kontraktor asing selalu mengajukan klaim pekerjaan tambah ke KKKS karena jumlah kertas yang digunakan sebagai print out desain engineering bertambah. Kami maklum jika kontrak perusahaan tersebut adalah Detail Engineering Design.
Tapi masalahnya jumlah kertas tambahan tadi akan diklaim pula oleh KKKS ke Negara sebagai bagian dari cost recovery.
Pertanyaannya, apakah betul jumlah kertas tambahan tadi memang murni digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan? Bukan bagian dari sebuah "permainan"?
Misalnya, jika KKKS meminta gambar pensil, yang dinamakan pensil terdiri dari satu batang pensil, tidak perlu satu gambar tersebut di bagi menjadi 5 gambar, ada pensil belakang, ada pensil depan dll, sangat tidak efisien. Cukup satu gambar. Kecuali yang diminta pensil, penghapus dan laptop, bolehlah gambar tersebut di bagi-bagi.
Sebagai anak negeri, sedih saya melihat itu, Negara harus membayar "ganti-rugi" perusahaan asing atas hal yang sebetulnya bisa lebih efisien. Ini baru contoh kecil, belum lagi contoh besar yang intinya skema cost recovery membuka ruang yang besar bagi KKKS dan Negara untuk "bernegosiasi".
Di sinilah skema gross split mempersempit ruang gerak para koruptor dan mafia. Semua sudah di atur di awal, jika ada efisiensi maka menjadi hak dari KKKS. KKKS tidak bisa lagi seenaknya buang-buang duit, mentang-mentang duit nanti diganti Negara lantas bisa seenaknya.Â
Sebaliknya, jika terjadi over dari yang disepakati, negara tetap membuka ruang insentif sebagai perhitungan prosentase akhir (menambah split/bagian). Di mana prosentase akhir di pengaruhi oleh faktor kondisi lapangan, yang mana menurut A. Rinto Pudyantoro (praktisi Migas) kondisi lapangan dipengaruhi oleh: status block, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, kondisi infrastruktur, kondisi reservoir, kandungan CO2 dan H2S, API, serta kandungan lokal dalam pengadaan dan tahapan produksi itu sendiri.
Yang sedang dilakukan perbaikan saat ini adalah bagaimana gross split melindungi investor ketika harga minyak rendah dan memperbesar bagian pemerintah ketika harga minyak sedang tinggi. Jadi absurd, jika dikatakan, skema gross split hanya untuk jangka pendek.
Di sinilah kadang kita gagap melihat perubahan, cara kerja yang lebih efektif dan efisien, memangkas alur-alur birokrasi yang berbelit dan menutup pintu ruang korupsi.Â
Hal ini justru dianggap sebagai biang kekacauan. Bahkan dituduh sebagai skema yang membahayakan negara.
Karena itu saya bertanya, apa iya ini yang membuat Jonan dan Archandra tidak dipanggil oleh Presiden Jokowi untuk kembali jadi Menteri?