Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Filosofi Didi Kempot dalam Menghadapi DPR "New Era"

6 Oktober 2019   11:09 Diperbarui: 6 Oktober 2019   11:35 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~ Yha lord, jadikanlah orang-orang itu (DPR) termasuk golongan yang teraniaya, seperti tembang mu yha lord ~

"Huuuu...dasar jombloo!" Teriak rekan-rekan satu almamaternya.

Begitulah seuntai kalimat yang saya curi dengar ketika aksi demonstrasi Mahasiswa menuntut pembatalan revisi UU KPK dan RUU KUHP, mahasiswa tersebut lengkap memakai atribut almamater salah satu kampus, ikat kepala, toa di tangan dan tentunya membawa seuntai kejombloan yang tak kunjung sirna.

Mahasiswa sad bois tersebut turun dari mobil carry diselingi wajah yang sendu, terlihat gurat kesedihan yang mendalam, bukan hanya kepada republik ini, tapi kepada nasib.

Tentu ucapan Mahasiswa itu merujuk kepada the one and only, Lord Didi Kempot. Seorang maestro tembang patah hati, hingga dijuluki the godfather of broken heart.

Itu pula yang tampak pada aksi demonstrasi kemarin, aksi di Jogja dengan tagar #GejayanMemanggil menghadirkan nuansa yang berbeda, jika biasanya spanduk atau poster selalu bertuliskan hal yang sangar, kali ini beda, tampak beberapa tulisan yang santuy cenderung patah hati.

Kalimat-kalimat yang diambil dari lirik tembang Didi Kempot seperti "Rezim Cidro", "Ojo mblenjani janji" (jangan ingkar janji) atau "Trimo mundur timbang loro ati" (Lebih baik mundur daripada sakit hati) menghiasi acara demonstrasi kemarin. Unik sekaligus terenyuh.

Disini jelas, pengaruh renaissance Didi Kempot telah merasuk kedalam relung hati para Mahasiswa dan (tentunya) Mahasiswi.

Filosofi seorang yang bernama asli Didi Prasetyo tersebut telah berhasil membuat sebuah era baru di zaman milenial ini. Era patah hati.

Didi Kempot secara sosiohistoris seakan mewakili perasaan Mahasiswa dan juga (beberapa) anak bangsa yang tidak rela jika KPK dilemahkan. Mahasiswa seakan telah patah hati dengan yang namanya DPR.

DPR "new era" yang di harapkan lebih baik dari DPR sebelumnya justru viral karena salah satu anggotanya berfoto dengan tiga istrinya lalu tertidur di dalam sidang, dengan alasan yang justru jadi lelucon; kecapekan, memang capek atau "capek"?

Lantas anggota DPR viral lagi karena ketidakhadiran 50,4% anggota di sidang perdana.

Gimana tidak ambyar hati rakyat?

Anggota DPR yang cidro, tega membohongi rakyat padahal masih di awal-awal masa jabatan. Bagaimana untuk 2-3 tahun mendatang?

Disinilah Didi Kempot hadir sebagai manifestasi paripurna kesedihan rakyat, keputusasaan rakyat kepada para wakilnya di DPR, seperti lirik dalam tembang Aku Dudu Rojo..

"Pupus godhong gedhang
Ajang pincuk saiki wis ra kelingan
Biting pringe garing
Mbok apusi awakku yo nganti gering"

Intinya, pupus sudah harapan, sudah tidak ada ingatan lagi (pada rakyat), kalian (Wakil Rakyat) bohongi aku sampai sakit.

Betapa mendalamnya nestapa yang ditunjukkan lirik lagu itu, apalagi ketika kita melihat anggota DPR membuang-buang waktu hanya untuk memilih ketua MPR, tidak peka terhadap kondisi bangsa, termasuk kondisi tanah Wamena yang sedang tercabik-cabik.

Bahkan beberapa dari anggota dewan yang terhormat justru tertawa ketika seorang anggota DPR perwakilan Papua menangis karena prihatin terhadap sense of crisis rekannya sendiri terhadap masalah Papua.

Ah, semakin ambyar hati ini sobat, ibu pertiwi seakan ikut bersenandung bersama seorang Didi Kempot sambil terisak menyiksa zaman.

Ya, bukan keramaian mas Anang atau idealisme ala bro Jerix yang menjembatani antara seni dan politik, tapi cukup kesederhanaan dari seuntai lagu sang Bapak Patah Hati Nasional.

Jika seorang mengatakan bahwa Didi Kempot adalah semesta yang lain, maka saya pun berhak berkata bahwa Didi Kempot justru sebuah dimensi yang lain, yaitu dimensi jiwa.

Didi Kempot pernah berkata bahwa lagu-lagu yang patah hati, sedih dan sakit justru mengajarkan kita untuk tetap kuat dalam menjalani hidup.

Disini saya terhenyak, tersihir seperti juga ratusan kawula muda di Balai Kota Solo waktu sore itu.

Seakan beliau ingin berkata, bahwa biarlah DPR bertingkah tapi hidup kita harus tetap berjalan, ah sungguh kita disuguhkan kembali era romantisme ala Oliver Goldsmith versi patah hati lengkap dengan gaya heroic couplet.

Ketika dulu The Solitarity Reaper bergaung dengan semangat revolusi Perancisnya, maka biarlah The Balapan Station ini membaur bersama revolusi patah hati.

Patah hatinya sobat ambyar sambil menyerutup segelas es kopi susu ditemani remah-remah senja.

Ambyaar tenaan...

***

Ditulis pertama di www.ryokusumo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun