Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[Kilas] Ketika "Cut Nyak" Beraksi di Tanah Rencong

11 Januari 2019   18:01 Diperbarui: 11 Januari 2019   18:29 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.padebooks.com

Jujur, tulisan ini hadir karena "ditantang" seseorang. Pun saya mendapat penolakan dari rekan ketika cerita bahwa ingin menulis tulisan ini.

"Bro, ngapain kau tulis tentang Mega di Aceh? Jelas-jelas Mega itu salah, tak ada kata lain, Mega itu salah di Aceh, dia pembohong!" Kata rekan saya yang asli Sumatera.

Saya bergeming, sambil sruput kopi, saya pulang dan menulis ini.

Benarkah Megawati berbohong tentang Aceh?

30 Juli 1999 silam, Megawati berpidato di Tanah Rencong, Aceh, di hadapan ulama dan rakyat Tanah Serambi, Megawati berujar, "Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong."

Dan ketika Megawati terpilih ternyata justru Megawati mengeluarkan Keppres No 28 tahun 2003 tentang Pemberlakuan Darurat Militer di Aceh.

Sebelum menghujat, alangkah kita pelajari dulu latar belakang diberlakukannya Darurat Militer di Aceh.

Begini kawan...

Darurat Militer di Aceh dilatarbelakangi oleh konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. GAM merongrong Indonesia sejak tiga dekade. 

Dimulai sejak 1974 ketika Hasan Tiro pulang ke Indonesia, dengan maksud hendak mengikuti kontrak pekerjaan pipa gas milik Mobil Oil, kontrak akhirnya dimenangkan oleh Bechtel, perusahaan asal Virginia, USA. Hasan Tiro kalah.

Hasan Tiro kecewa. Ini terbukti dari kata-kata setelah kekalahannya bahwa sumber gas Aceh terlalu dikuasai Pemerintah Indonesia sehingga jatuh ketangan swasta asing. Hasan Tiro yang tidak mendapatkan proyek pun berang, lalu pada 4 Desember 1976 berdirilah Gerakan Aceh Merdeka. Dengan alasan ingin mengembalikan cita-cita perjuangan kakek buyut rakyat Aceh untuk merdeka, bukan hanya mendapat otonomi khusus.

Soal gas ini sekilas agak konyol memang. Namun beberapa studi dan literasi, salah satunya dari Michael L. Ross dalam bukunya  Understanding Civil War: Evidence and Analysis (2005) mengungkapkan latar belakang GAM utamanya adalah soal Sumber Daya Energi. Inilah juga yang akhirnya melatarbelakangi mengapa Megawati menyebut "Gas Arun" dalam pidatonya.

Konflik terus berlangsung hingga pada tahun 1989 Indonesia memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Status inilah yang membuat kontroversi HAM akibat perlakuan TNI (Kopassus) kepada masyarakat sipil Aceh.

Terbukti dari ucapan permintaan maaf mantan Komjen Kopassus Prabowo Subianto  kepada rakyat Aceh atas perlakukan Kopassus masa lalu. Secara tidak langsung, Prabowo mengakui adanya kontroversi kelakuan Kopassus bawahannya.

Nah, setelah era '98 GAM kembali bergolak. Di dorong oleh keingingan yang sama terhadap Timor Timur yang lepas dari Indonesia, GAM merasa Aceh pun bisa. Perundingan sejak era Habibie dan Gus Dur tidak berhasil. GAM kembali berulah, bahkan setelah Presiden BJ Habibie menarik pasukan TNI dari Aceh.

Bukannya melunak, GAM malah merekrut banyak anak muda sebagai anggota dengan cerita kelakuan Kopassus masa Orba sebagai bumbu penyedap.

Hingga akhirnya Mei 2003, Presiden Megawati yang ingin kedaulatan Aceh tetap di tangan Indonesia 'nekat' mengeluarkan status Aceh Darurat Militer dan disusul Darurat Sipil.

Boom! Tidak ada kata damai bagi separatis, jiwa tegas Megawati tercermin disitu. Mega ingin Aceh terbebas dari separatisme. Aceh kembali ke ibu pertiwi. Gak tanggung-tanggung, 30.000 tentara dan 12.000 polisi dikerahkan ke Aceh. Tumpas habis separatis.

Akibat Operasi Militer jaman Megawati inilah kekuatan GAM melemah lebih dari setengahnya. Dan berujung pada perjanjian damai 9 Desember 2003 di Jenewa, Swiss.

Tapi kan banyak timbul korban masyarakat sipil, om?

Operasi Militer memang tidak pernah ada yang "clean" alias betul-betul bersih. Terutama dari sisi separatis. Banyak anggota separatis yang menjadi intelijen menyamar jadi masyarakat, jadi tukang sayur atau gundik. Bahkan Bung Karno pernah menyebut bahwa pelacur adalah intel paling ampuh. Untuk itu diberlakukan 'KTP khusus' untuk membedakan rakyat Aceh dengan anggota GAM.

Dari situ pun, masih belum bisa menghindari adanya korban jatuh dari warga sipil. Inilah 'konsekuensi' dari gerakan separatis. Pentolan separatis adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika ada tindak kekerasan, baik kepada anggotanya, maupun kepada masyarakat sekitar. 

Tanggung jawab TNI adalah mengamankan wilayah Indonesia sesuai amanat Undang-undang dan sesuai hasil kesepakatan perundingan. TNI juga tidak selamanya bersih, seperti tindakan TNI ketika masa DOM dari tahun '89 ke '98 (karena masa berlaku status yang lama). 

Namun ketika tahun 2003 itulah kekuatan TNI betul-betul dipusatkan untuk memberantas GAM. Hanya 8 bulan sejak diberlakukan Darurat Militer perjanjian damai pun di tanda tangan. Inilah salah satu prestasi Megawati yang justru dipelintir oleh oposisi PDIP sebagai 'penjahat HAM'. 

"Ah, tulisanmu terlalu banyak menyederhanakan fakta, bro.."

"Justru ketika tulisan Allan Nairn dibuat complicated, disitulah fitnah menyebar.."

Ada lagi fakta dimana Megawati kala itu berpihak pada masyarakat Aceh. Soal cadangan gas Arun. Cadangan gas Arun yang menjadi awal persoalan ini ternyata habis pada 2014.  Dan oleh pemerintah Indonesia terminal LNG Arun dirubah spesifikasi menjadi terminal NGL.

Apa itu? Jika yang awalnya Arun merubah gas menjadi LNG (liquid), saat ini dibalik menjadi proses merubah LNG menjadi gas, dinamakan proses regasifikasi. Gas hasil regasifikasi digunakan untuk menghidupkan listik PLN. Ada hulu, ada hilir. Aceh mendapat 30%.

Andaikan Aceh pisah, lantas apakah teknologi ini bisa segera diaplikasi? Ataukah sumber energi justru dipakai foya-foya pada petingginya, seperti yang terjadi di benua Afrika? Jangan-jangan Aceh Merdeka hanya sampai 2014, lalu minta kembali ke Indonesia? Kan ini lebih lucu lagi.

Nah, setelah kekuatan GAM melemah, eh ndilalah, terjadi tsunami Aceh. GAM pun menyerah, Tuhan seakan marah dengan larutnya Negeri Serambi Mekkah pada kekuasaan. Namun, banyak pihak berpendapat, meskipun diterjang tsunami namun jika tidak ada Darurat Militer pada era Megawati, GAM masih punya kekuatan untuk kembali merongrong Indonesia.

Inilah kedaulatan. Marah Putih harga mati. 

Namun, Indonesia tidak boleh lengah, Partai Aceh sebagai perubahan dari GAM setelah 2004, menang banyak di Pemilu Daerah. Saat ini pun banyak pentolan GAM yang menjabat anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Dan ketika mereka menguasai parlemen, bukan tidak mungkin suatu saat akan muncul GAM seri II, bernama referendum.

Dan kali ini... kopipun saya campur dengan susu.

***

Tulisan pertama dipublish di Pepnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun