"Dapat dibayangkan, saya ketemu Putin bicara Rusia sahabat Indonesia, bukan? Putin ketawa, kenapa kamu berkata begitu Mega. Kata Putin bukan sudah dari dulu, oke saya mau lihat pesawat kamu, kalau lihat begitu saya ketawa saya lupa kalau saya perempuan, karena ditawarkan Sukhoi," ucap Megawati. 19 tahun silam seperti dikutip detik.com.
Dari situ akhirnya Indonesia membeli Sukhoi 27 dan Sukhoi 30, dua pesawat Rusia setelah sebelumnya kita langganan pesawat tempur Amerika Fighting Falcon F-16, F-5 Tiger dan C130 Hercules. Ada apa dengan pesawat Amerika? Mari kira refresh sejenak memori kita ke masa 20 tahun yang lampau.Â
Jaman Megawati, alutsista Indonesia saat itu sedang di embargo oleh Amerika, tepatnya mulai tahun 1999. Alasannya kala itu Amerika menuntut pengadilan HAM bagi para Jendral yang terlibat kasus penembakan Timor Timur, 1991. Antara lain Pangab Wiranto dan Panglima Kopassus Prabowo Subianto terlebih dahulu.
Megawati bergeming. Prinsip Mega kala itu adalah tidak ada yang bisa mengatur-atur Indonesia, mirip sifat ayahnya, Bung Karno. Megawati tidak mau jadi pion.
Amerika berang, embargo diperpanjang. Saat itu, militer udara Indonesia berantakan, acak-adut, ada pesawat pun tidak bisa digunakan, suku cadang yang overhoul di Korea Selatan tidak bisa dipulangkan. Megawati cari cara lain, beliau terbang ke China, Korea Utara hingga akhirnya Rusia, dan dapatlah Sukhoi. Mega ingin membuktikan, tanpa Amerika, Indonesia masih berjaya. Kedaulatan Indonesia harga mati.
Desember 2003, Megawati membuat dunia terhenyak. Indonesia mengakhiri hubungan dengan IMF. Masih ingat kan ketika direktur IMF, Michel Camdessus berdiri dengan congkak di depan Presiden Soeharto pada tahun 1998 ketika Indonesia harus bertekuk lutut dengan IMF akibat krisis moneter? Amerika yang menyebabkan masalah, Amerika pula yang menyediakan obatnya. Generasi milenial harus tahu sejarah ini.
Megawati tidak mau mengulangi hal itu lagi, IMF didepak lewat keputusan MPR No. 5/MPR/2003 . Defisit negara ditambal dengan privatisasi sektor yang memberatkan. Amerika marah lagi.
Megawati seperti dalam pusaran arus Amerika, tekanan bertubi-tubi dirasakan. Salah satunya adalah tekanan Amerika yang meminta tersangka terorisme pentolan Jamaah Islamiyah (JI), Abu Bakar Ba'asyir di ekstradisi ke tahanan Guantanamo. Alih-alih menyetujui, Mega lagi-lagi menolak. Bush yang saat itu sedang gencar berperang dengan Al-Qaeda ngamuk. Megawati berpendapat, Ba'asyir yang warga negara Indonesia, jika bersalah haruslah dihukum secara hukum Indonesia. Indonesia harus berdaulat.
Sekedar catatan, 1 Agustus 2001, sebuah bom meledak di Plaza Atrium Senen sekitar pukul 20.00, ledakan yang menghancurkan lobi Hotel Aston melukai enam orang yang salah satunya kakinya harus diamputasi. Tak jauh dari sana, tepatnya di Pecenongan, Megawati tengah memimpin rapat PDI-P. Bom meledak secara tak sengaja sebelum mengenai target utamanya, Megawati. Hal yang diakui oleh Umar Al-Faruq, anggota jaringan Al Qaeda dan Jemaah Islamiyah (JI).
Atas dasar kasus itu, sebetulnya sangat mungkin jika Megawati meng-ekstradisi Ba'asyir ke Guantanamo, tapi Megawati lebih memilih memaafkan dan menghukum pentolan JI tersebut di dalam negeri.Â
Cerita tentang Megawati dan Ba'asyir ini tidak pernah di ekspos publik, barulah dalam persidangan Ba'asyir pada 2005, melalui Fauzan Al Ansyori seperti dikutip dari detik.com "Ustad Abu mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mega yang telah menolak permintaan Amerika untuk menyerahkan Ustad". Mungkin cerita ini juga belum didengar anak muda kaum milenial.
Di sinilah jiwa besar Megawati, ketimbang mendendam, Mega lebih memilih memaafkan dan mengusut kasus terorisme berdasarkan kedaulan bangsa.Â
Namun jiwa besar itu harus di bayar tuntas, Amerika adalah tokoh utama sejati, polisi dunia. Megawati harus turun, minimal tidak boleh terpilih kembali. Amerika lebih menyukai sosok pria tinggi besar yang sempat mengatakan "I love the United States, with all its faults. I consider it my second country". Seperti dikutip  International Herald Tribun Agustus 2003, yang ditulis kembali oleh Al Jazeera Juli 2004.
Megawati pun tak bertahan lama.
Dari situ jelas sudah perbedaan Megawati dengan penerusnya, jelas sudah di mana Megawati berdiri. Mega memilih berseberangan dengan Amerika. Megawati ingin Indonesia berdaulat penuh atas diri sendiri.
Bagaimana dengan penjualan Indosat? Disini Megawati sangat tidak nasionalis! ~begitu kata oposisi.
Begini kawan, privatisasi BUMN itu adalah salah satu klausa di dalam Letter Of Intent (LOI) antara IMF dengan Indonesia pada tahun 1997. Privatisasi sendiri bertujuan untuk mengurangi beban keuangan pemerintah akibat menurunnya kinerja BUMN, atau yang bahkan cenderung akan merugi.
Nah, dari LOI ini, kalian tahu kan siapa otaknya? Orde baru dan Amerika. Orde baru diwakili oleh tim ekonomi "Mafia Berkeley". Dengan kata lain, BUMN menjadi jaminan ke Amerika atas pinjaman IMF ke Indonesia.Â
Sementara itu, ditahun 2002, pemerintah tidak bisa memberikan subsidi untuk BUMN "sakit", karena kondisi Indonesia masih berbenah. Tidak ada jalan lain ketika itu, tim "Mafia Berkeley"Â mengusulkan satu usulan, privatisasi.
Dari sekian banyak BUMN, kenapa Indosat? Ini harus melibatkan insting bisnis tingkat tinggi. Anda tahu kenapa saham Indosat stagnan sejak tahun 2000? Anda tahu kenapa di tahun 2018 lalu Indosat merugi 505 Milyar? Anda tahu jika Indosat bahkan rugi 1,53 trilyun di tahun 2015? Belum lagi tahun-tahun sebelumnya?Â
Indonesia sudah punya Telkom dengan Telkomsel sebagai provider andalan. Apakah anda tahu berapa kali lipat saham Telkomsel naik sejak 2002? Ratusan kali lipat, ini berbanding terbalik dengan saham Indosat meski sudah dibeli Ooredoo sekalipun. Ditambah laba Telkom yang naik gila-gilaan sejak era 2000-an.
Jika Indosat masih ada di Indonesia, berapa rupiah Indonesia harus menanggung kerugian Indosat?
Ah, Garuda kan juga masih rugi? Garuda adalah satu-satunya maskapai penerbangan Indonesia dengan predikat bintang lima. Garuda itu sudah kecemplung, ya basah sekalian. Â Disamping Garuda adalah bisnis strategis.
Beda dengan Indosat, Indosat dan Telkomsel bermain di satu kolam yang sama persis. Prospek Indosat sudah terlihat kalah saing dengan Telkomsel. Pilihannya dua, fokus pada Telkomsel atau terbebani kerugian Indosat nantinya, dan benar saja, Indosat merugi ratusan milyar. Insting bisnis dahulu adalah tepat.
Jadi, tidak sembarangan Megawati dulu mengambil keputusan, selain karena klausa LOI yang dibuat orde baru dulu, juga ada insting bisnis yang bermain. Semangat Megawati adalah tidak mau diatur Amerika, lebih baik melego BUMN sakit ketimbang terima "uluran racun" IMF.
***
Diposting pertama di Pepnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H