Baru-baru ini saya di bombardir oleh rekan-rekan di grup whatsapp keluarga dan juga media sosial, menampilkan peringkat negara paling "rakus" dengan buku.
Negara "pemakan" buku terbanyak. Indonesia "tentu saja" berada di posisi buncit, posisi 60 dari 61 negara.
Sedih ya kita? Ya sedih, kalau kita telan mentah informasi itu seperti kebiasaan kita. Sejatinya kita peringkat 60 dari 196 negara yang diakui dunia. Untuk peringkat FIFA, posisi 60 dunia itu posisi lumayan bos.
Kita ndak culun-culun amat. Kita masih lebih baik dari tetangga kita Filipina, Laos, Brunei, Kuba, Afghanistan, India bahkan sohib kita yang kaya raya, Arab Saudi.
Tapi ya dasar kita, plonga-plongo dijejali informasi yang "cuma" setengah matang, hasilnya heboh.
Lagipula, apa iya peringkat itu didasarkan dari jumlah buku yang di baca?
Peringkat itu dilansir dari studi PISA dan CCSU. Apa itu PISA dan CCSU? Silahkan anda googling.
Yang pasti peringkat itu berdasarkan 5 kategori, yaitu; Newspaper (koran), Libraries (Perpustakaan), Education System (input), Education System (output), dan komputer.
Jadi bukan cuma karena jumlah buku yang dibaca. Biar gak kelamaan, kita bahas aja yuk.
1. Newspaper
Newspaper itu artinya koran, tau ya? Jadi, peringkat ini didasarkan dari berapa banyak konsumsi koran (baik online maupun offline) di satu negara, termasuk berapa duit yang berputar didalam industri koran harian ini. Disini Indonesia peringkat 55.
Jika kita bicara koran, artinya kita bicara informasi resmi, non hoaks dan kredibel.
Dan plis om dan tante, kita jangan lagi bicara koran offline. Jadi kalau CCSU masih bicara koran offline di Finlandia, maap di Indonesia lebih jaman now. Kita gak level sama berita yang telat sehari, telat dua jam aja kita gagap.
Disisi portal online kita punya Kompas, Detik, Tempo, Liputan6, Merdeka, Okezone, Tribun, Jawa Pos, Viva, Pikiran Rakyat dan Sindonews.
Dengan jumlah 11 portal online ini saja, masyarakat Indonesia sudah kelimpungan mendapat berita sebegitu banyaknya. Jangan tanya soal kapital-nya.
Iklan bersliweran hingga dalam posisi menganggu pembaca. Entah berapa milyar per hari uang yang beredar disana.
Kita gak hobi baca? Cih..semua berita kita baca, sampai kita gak tahu mana yang benar dan mana yang hoaks, saking hobinya kita baca.
So, bagi Indonesia pointnya bukan banyaknya media atau uang yang berputar didalam situ. Yang terpenting adalah bagaimana kualitas konten berita tersebut.
Percuma jadi portal online terbaik kalo kualitas beritanya sampah, hanya mengandalkan judul dengan tujuan paid per click.
2. Libraries (Perpustakaan)
Lagi-lagi kita cuma plonga plongo ketika disuguhi data bahwa kita rendah dari sisi ketersediaan perpustakaan. Mengarah ke ketersediaan buku / bacaan.
Apa penilaian sekedar dari sisi kuantitas, bukan kualitas?
Kalau kuantitas, ya pasti Finlandia teratas, dengan pendapatan per kapita tinggi, jumlah masyarakatnya cuma seperempat dari kita, disana bangun perpustakaan seperti bangun warung kopi. Enak ngaturnya, lha kita?
"Mas, kalo sampeyan punya lahan, mending tak sewa buat jualan sate tak iyee.." Gitu kata tetangga saya.
Kualitas disini adalah hal yang subjektif, sama halnya dengan rokok. Rokok barat itu sangat tidak berkualitas menurut saya, jauh lebih berkualitas rokok buatan Kudus. Selera.
Untuk itu saya coba blusukan, demi fakta yang mendekati pertanyaan, apa sih yang bagus itu buat orang Indonesia? Apa kita perlu membaca ratusan buku untuk tahu bahwa bumi itu bulat, eh datar?
Saya bertemu Andri, tentu nama sebenarnya. Seorang anak SD kelas 4 di Perpustakan Keliling Banjir Kanal Timur, Jakarta. Dia sedang asyik membaca komik manga. Iseng saya dekati..
"Ndri, kamu tau gak Ken Arok?
"Ya taulah om, Raja Singasari pertama, emang kenapa?"
"Hebat, kok tahu, susah lho itu, mang dah diajarin di sekolah?"
"Itu mah gampang, belum di ajarin, tapi kan di Historia.id ada. Om baca Historia makanya..lagian namanya bukan Ken Arok, tapi Ken Angrok" Jawabnya lugas sambil tertawa, saya di ledeknya. Gondok.
Beberapa waktu kemudian, di perpustakaan keliling Gedung Sate Bandung, saya bertemu Riana, kelas 9 SMP.
"Om mau tanya, Perang Bubat itu apa sih? kok bisa terjadi?
"Ih, om kayak pak guru..hehe, perang bubat tuh perang jaman Majapahit, katanya sih karena Gajah Mada gak setuju gitu deh Hayam Wuruk mau nikah sama putri Sunda, kalo gak salah namanya Dyah Pita...ehmm..pita...emmm bentar ya om" Jawabnya sambil mengetik sesuatu di smartphone-nya.
"Oh iya, Dyah Pitaloka!" Serunya semangat.
"Wah, mantap"
"Knapa ya om gak setuju gitu, aneh banget, padahal katanya nikah kan baik, Helooww.....Gajah Mada juga bukan bapaknya Raja kan om, aneh deh..hari gini mah dah di-bully kali tuh si Gajah Mada.." Sambungnya sambil cekikikan dengan kawannya.
Saya pun kabur sambil berucap "makasih dek".
Di lain waktu di Banyuwangi, saya menjumpai perpustakaan keliling di halaman Kantor Desa Pondok Nongko yang disulap jadi area membaca anak-anak.
"Dek, pendiri Apple itu siapa ya?"
"Bentar ya om.." Ujar seorang anak sambil browsing di smarthphone sederhana. Saya melirik iseng, dia sedang membaca Kompasiana.
"Steve Jobs om.."
"Hehehe..mantap apa saja ada ya di internet"
Anak itu manggut-manggut sopan.
"Kalo Oppo itu produk mana, dek?"
"Emm..harus googling om, kalo Huawei ada tuh bukunya biografi yang punya Huawei, monggo dibaca saja, om" Ujarnya sopan sambil menunjuk buku Biografi berjudul Ren Zhengfei.
Ren Zhengfei ialah pendiri Huawei yang termasyur karena rela mengorbankan harta pribadi demi membiayai riset produk semikonduktor hingga jadi produsen teknologi teratas.Â
Anak-anak itu sudah baca lho, saya belum.
Hasil blusukan saya, diatas 50% anak-anak mengerti tentang sejarah, paham situasi terkini, melek literasi dan semangat. Ada memang yang masih belum "nyangkut" tapi semangat mereka ada.
Jika mereka tidak tahu, mereka akan tanya, browsing bagi yang bawa smartphone atau menjawab jujur "belum baca om".Â
Bagi yang tidak tahu, wajah mereka memerah, tersenyum salah tingkah, tanda mereka malu. Itu point.
Point lainnya: Perpustakaan bukan hanya buku fisik, tapi juga konten bermanfaat di media sosial dan portal online. Itulah perpustakaan masa depan mereka. Baca itu medianya apa saja, bukan cuma buku.
Indonesia masuk 5 besar pengguna media sosial terbanyak di dunia, banyak link berita berfaedah yang bisa disisipkan di facebook, twitter atau instagram, bukan iklan penghancur lemak dalam sekejap.
Kompasiana, Tirto, Historia adalah tiga besar portal rujukan pengetahuan, opini dan sejarah online saat ini.
Ada puluhan juta anak Indonesia yang tersebar di berbagai pelosok, terus terang "bonyok" untuk mengejar persentase yang sama dengan Barat. Selain perbanyak perpustakaan fisik, infrastruktur online perlu di genjot, apapun kondisinya.
Jika mereka bodoh, kita lah yang paling bertanggung jawab atas kebodohan itu..
3. Education System (input), Education System (output)
Gampangnya, input sistem pendidikan itu ada dua: Pertama berapa persen alokasi APBN untuk pendidikan terhadap % GDP. Pemerintah di 2018 menganggarkan 20% dari total APBN untuk pendidikan. Total sebesar 444,1 Trilyun. Persentase terhadap GDP adalah 3.52% ketika studi CCSU ini dibuat.
Brazil yang di posisi pertama menganggarkan 25% dari total APBN negaranya untuk pendidikan, setara 5.9% terhadap GDP. Sedangkan Denmark anggaran pendidikannya 7.6% terhadap GDP. Dari sisi ini Denmark harusnya peringkat pertama.
Kedua, adalah total lamanya masa wajib sekolah. Rata-rata di semua negara, masa wajib sekolah adalah 9-12 tahun. Di sisi input, dari 61 negara, Indonesia peringkat 54.
Di sisi output, yang dilihat adalah reading assessment score atau skor pengujian membaca dan kita ada di peringkat 45, not bad.Â
Penilaian ini sangat subjektif, dan CCSU sendiri di dalam webnya tidak menjelaskan rinci penilaian ini dibuat.
Hanya dijelaskan bahwa penilaian ini berdasarkan motivasi membaca setiap individu. Kalau diminta motivasi, anak-anak yang saya temui sangat punya motivasi membaca yang tinggi.
Indonesia tidak kekurangan motivasi baca, setiap bookfair selalu dijejali konsumen, segala umur, buku ludes.
Pun jika dinilai dari hasil karena membaca, saya masih yakin Indonesia tidak kekurangan orang hebat. Lha wong berapa pendapatan Via Vallen saja mereka tahu.
4. Komputer
Dari semua faktor di atas, hanya inilah yang menurut saya paling nyambung dengan ranking tadi.
Di Belanda, lebih 80% rumah tersedia komputer, laptop atau minimal notebook. Di Finlandia apalagi, lha di Indonesia?
"Bosok kamu mas, kamu ngeledek atau bagaimana?"
"Kok ngeledek?"
Di Belanda, di Finlandia, Denmark atau negara Eropa itu infrastrukturnya sudah stabil, sudah jadi, sudah established. Mereka termasuk negara paling bahagia di dunia.
Lha di Indonesia, boro-boro komputer dan laptop sampai pelosok, lha wong harga buku saja sampai di pelosok bisa naik 3x lipat kok.
Kok bisa? Ya iya, sulit transportasi, naik kapal harus sambung lagi jalur darat. Jalan rusak banyak dipalak, ongkos melambung, buku tak terbeli, hanya bermodal kasih sayang relawan baca.
"Ya infrastrukturnya dong mas diperbaiki.."
"Gundulmu, yang lagi bangun infrastruktur saja kamu nyinyiri...!!"
Duh Gusti, pasti kamu belum ngopi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI