Pukul 19:00 WITA, saya masih bergumul di selasar Bandara Sepinggan, Balikpapan. Bandara yang megah itu menjadi teramat membosankan bagi saya, total sudah hampir 5 jam saya menunggu pesawat Lion Air yang akan membawa saya kembali ke Jakarta.Â
Tak terhitung makian, cacian dan gebrakan meja dari para penumpang selama 5 jam itu dan lagi-lagi, pihak Lion tampil seperti biasa: Tak ada kejelasan.
Saya memilih menghindari makian tersebut, karena bagi saya, menunggu 5 jam adalah jalan Tuhan agar saya bisa memanfaatkan me-time saya yang hilang. Saya bisa pijat refleksi, ngeblog, menikmati kopi sampai kembung atau sekedar sholat dan bertaubat. Sungguh manfaat yang hakiki.
Namun tidak semua orang bisa mengambil hikmah seperti itu, mayoritas tampil sebagai jagoan dadakan atas nama kepentingan publik. Tidak salah, karena secara de facto, Lion memang mengecewakan.
Apakah kita masih percaya dengan Lion Air?
Pertanyaan itu selalu muncul dari waktu ke waktu, entah dari rekan ataupun dari media. Jawabannya selalu satu "ya mau gimana lagi, lha wong yang ADA cuma Lion".
ADA dalam arti Lion selalu terdepan dalam soal ketersediaan pesawat. Jika kita buka aplikasi transportasi, armada Lion nyaris selalu hadir di setiap jam, bahkan untuk penerbangan dengan skema transit sekalipun. Bahkan saya pernah melihat Lion hanya jeda tidak sampai satu jam dalam rute yang sama.
Begitu banyaknya armada pesawat Lion. Tercatat 191 pesawat dalam kategori beroperasi. Pesawat yang beroperasi dengan rincian 47 pesawat Airbus dan 150 pesawat Boeing, dengan terbanyak adalah Boeing seri 737-900ER sebanyak 101 unit, sedangkan Boeing 737 Max 8 dimiliki Lion Air sebanyak 11 unit, tersisa 10 unit karena 1 unit pesawat telah jatuh di Teluk Karawang minggu lalu. Sisanya adalah 80 unit seri B 737-800, 4 unit seri B 737 Max 9 dan 1 unit seri B 737 Max 10.
Jumlah pesawat Lion untuk penerbangan domestik adalah yang terbanyak di Indonesia. Plus Wings Air dan Batik Air, Lion menguasai lebih dari 42% pasar penerbangan domestik di Indonesia, disusul Garuda Indonesia.
Dengan lebih 700 jadwal penerbangan yang dilayani Lion dalam satu hari pertanyaan lain muncul, apakah jumlah penerbangan terpenuhi oleh jumlah armada Lion?Â
Jumlah armada memang besar, tapi jadwal penerbangan pun jauh lebih banyak. Otomatis satu pesawat bisa terbang berkali-kali dalam satu hari. Kita bicara frekuensi, bukan durasi.Â
Dilansir dari studi yang dilakukan Boeing, memang tidak ada standar yang pasti berapa maksimal pesawat bisa terbang dalam satu hari, sehingga yang berlaku adalah persentase utilitas penerbangan, yang berujung pada efektivitas.Â
Semakin tinggi nilai utilitas, semakin efektif pesawat beroperasi dan semakin kecil jumlah pesawat menganggur sehingga biaya perawatan, sewa bandara dll jadi semakin minimal, keuntungan maskapai meningkat.
Inilah yang mendasari asumsi bahwa checking ketika JT-610 akan lepas landas adalah short checking, padahal ditemukan gangguan ketika penerbangan sebelumnya dari Denpasar ke Jakarta. Pertama adalah efektivitas waktu, yang kedua untuk mengejar on time schedule. Satu penerbangan delay, impact-nya ke seluruh jadwal penerbangan.
Belum lagi jumlah kru, apakah jumlah engineer sepadan dengan jumlah pesawat? Dalam kacamata konsumen, kami berhak untuk beropini bahwa jumlah kru yang menangani pesawat sama sekali belum cukup.
Ditambah jika bicara sisi maintenance, Garuda terkenal dengan bisnis GMF-nya (Garuda Maintenance Facilities), begitu pun dengan Citilink dan Siriwijaya yang masuk hanggar GMF, sedangkan Lion punya gerbang maintenance sendiri yang dinamakan BAT (Batam Aero Technic) yang belum terstandarisasi European Aviation Safety Agency (EASA), sedangkan GMF sudah.
Bagi konsumen, Lion ini MUAK tapi MAUK. MUAK karena kasus Lion yang sangat banyak, sedangkan MAUK karena memang cuma ada Lion di jam yang di mau dengan harga yang lebih miring.
Lion beroperasi dari tahun 2000, dan dua tahun berikutnya, 14 Januari 2002 kasus kecelakaan pertama terjadi pada B 737-200 rute Jakarta-Pekanbaru-Batam yang nyungsep akibat gagal take-off, 7 penumpang luka dan patah tulang. Kemudian Flight 538 yang jatuh di Solo menewaskan 25 penumpang.Â
Setelah itu total ada 31 kasus kecelakaan Lion Air, yang puncaknya pada Oktober 2018 ini.Â
Untuk sebuah maskapai penerbangan, angka 31 kasus selama 14 tahun itu artinya banyak. Belum lagi ditambah kasus delay-nya yang naudzubillah. Entah bagaimana Lion bisa mendapat predikat maskapai yang tepat waktu. Batik Air okelah karena armadanya sedikit. Nah Lion? Wow...
Ditambah lagi kasus Pilot tertangkap nyabu, pemalsuan dokumen, mengizinkan Neno Warisman orasi di dalam kabin pesawat dan lain-lain. Singkat kata, Lion ini banyak drama! Bahkan kecelakaan Karawang pun menyisakan drama gaji pilot!
Sehingga sudah saatnya pemerintah bisa bertindak jauh lebih tegas, pembebastugasan Direktur Teknik bukanlah solusi, hanya terkait investigasi. Tapi lebih jauh lagi, Lion harus diberi punishment.
Tapi kan susah, Lion dekat dengan pemerintah a.k.a penguasa, om?
Yang namanya pengusaha, seperti pemilik Lion wajib fardu kifayah nempel terus dengan pemerintah, di negara manapun, sejak kapan pun.Â
Dekat dengan pemerintah bukan cuma dengan Indonesia. Ketika di tahun 2011, Rusdi Kirana, pemilik Lion Air membeli 230 unit Boeing 737 yang ditandatangani di Bali ketika KTT APEC, yang langsung disaksikan oleh Barack Obama, Presiden Amerika Serikat kala itu.Â
Obama bahkan menyebut Rusdi dan Lion Group sebagai penggerak ekonomi Amerika yang sedang krisis.
Dua tahun kemudian, Rusdi Kirana kembali membuat geger dunia, kali ini Prancis. Di Paris tepatnya di Palais de l'Elysee, Istana megah yang dibangun tahun 1722. Rusdi Kirana disambut hangat oleh Presiden Prancis Francois Gerard Georges Nicolas Hollande.
Sama dengan Obama, Hollande menyebut Rusdi Kirana sebagai penyelamat ekonomi Prancis dengan pembelian 234 unit pesawat Airbus senilai Rp 230,4 triliun. Gokil kan?
Rusdi Kirana memang sosok yang hebat. Tidak heran jika menjadi Dewan Pertimbangan Presiden di zaman Jokowi. Efek domino antara Amerika-Indonesia dan Prancis-Indonesia sungguh besar. So, mau ganti Presiden pun, Lion tetap aman.
Tapi dengan kasus besar Lion Air yang penuh dengan drama, sudah saatnya konsumen berteriak lantang, pemerintah tak bisa lagi dijadikan bemper pemilik Lion.Â
Izin Lion sudah layak untuk dicabut, Lion diinvestigasi penuh oleh ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional) bahkan kalau perlu BPK untuk pemeriksaan keuangan terkait keanehan gaji pilot yang dilaporkan ke BPJS. Jangan-jangan bukan cuma 1 pilot saja?
Punishment terbaik adalah dari konsumen. YLKI entah mengapa seperti tidak ada taringnya: standar dan normatif. Konsumen harus dilindungi, daripada boikot Sari Roti yang tidak jelas dasarnya?
Tapi saya kembali tidak mau beropini yang terlalu jauh, banyak hikmah yang bisa saya ambil.
Seperti delay 5 jam di Balikpapan lalu, Lion ternyata memberikan saya manfaat terselubung, salah satunya adalah pemberian suplemen terbaik bagi saya dan penumpang. Suplemen yang mungkin bisa membuat kami selalu sabar, tabah dan kuat seperti macan, apalagi kalo bukan: Biskuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H