Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Sudah Layakkah Lion Air Dicabut Izin Terbangnya?

3 November 2018   11:38 Diperbarui: 3 November 2018   13:22 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari studi yang dilakukan Boeing, memang tidak ada standar yang pasti berapa maksimal pesawat bisa terbang dalam satu hari, sehingga yang berlaku adalah persentase utilitas penerbangan, yang berujung pada efektivitas. 

Semakin tinggi nilai utilitas, semakin efektif pesawat beroperasi dan semakin kecil jumlah pesawat menganggur sehingga biaya perawatan, sewa bandara dll jadi semakin minimal, keuntungan maskapai meningkat.

Inilah yang mendasari asumsi bahwa checking ketika JT-610 akan lepas landas adalah short checking, padahal ditemukan gangguan ketika penerbangan sebelumnya dari Denpasar ke Jakarta. Pertama adalah efektivitas waktu, yang kedua untuk mengejar on time schedule. Satu penerbangan delay, impact-nya ke seluruh jadwal penerbangan.

Belum lagi jumlah kru, apakah jumlah engineer sepadan dengan jumlah pesawat? Dalam kacamata konsumen, kami berhak untuk beropini bahwa jumlah kru yang menangani pesawat sama sekali belum cukup.

Ditambah jika bicara sisi maintenance, Garuda terkenal dengan bisnis GMF-nya (Garuda Maintenance Facilities), begitu pun dengan Citilink dan Siriwijaya yang masuk hanggar GMF, sedangkan Lion punya gerbang maintenance sendiri yang dinamakan BAT (Batam Aero Technic) yang belum terstandarisasi European Aviation Safety Agency (EASA), sedangkan GMF sudah.

Bagi konsumen, Lion ini MUAK tapi MAUK. MUAK karena kasus Lion yang sangat banyak, sedangkan MAUK karena memang cuma ada Lion di jam yang di mau dengan harga yang lebih miring.

Lion beroperasi dari tahun 2000, dan dua tahun berikutnya, 14 Januari 2002 kasus kecelakaan pertama terjadi pada B 737-200 rute Jakarta-Pekanbaru-Batam yang nyungsep akibat gagal take-off, 7 penumpang luka dan patah tulang. Kemudian Flight 538 yang jatuh di Solo menewaskan 25 penumpang. 

Setelah itu total ada 31 kasus kecelakaan Lion Air, yang puncaknya pada Oktober 2018 ini. 

Untuk sebuah maskapai penerbangan, angka 31 kasus selama 14 tahun itu artinya banyak. Belum lagi ditambah kasus delay-nya yang naudzubillah. Entah bagaimana Lion bisa mendapat predikat maskapai yang tepat waktu. Batik Air okelah karena armadanya sedikit. Nah Lion? Wow...

Ditambah lagi kasus Pilot tertangkap nyabu, pemalsuan dokumen, mengizinkan Neno Warisman orasi di dalam kabin pesawat dan lain-lain. Singkat kata, Lion ini banyak drama! Bahkan kecelakaan Karawang pun menyisakan drama gaji pilot!

Sehingga sudah saatnya pemerintah bisa bertindak jauh lebih tegas, pembebastugasan Direktur Teknik bukanlah solusi, hanya terkait investigasi. Tapi lebih jauh lagi, Lion harus diberi punishment.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun