"Karena kalian melihat figur, Cebong suka dengan Jokowi, dan Kampret kagum dengan Prabowo, itu wajar, capek kalo cuma mengharap mereka pindah keyakinan" Ujar blio.
"Ada sosok, ada rasa"
"Tetapi manusia itu unik. Dalam teologi, selama 4 tahun ada saja Muslim jadi Kristen, yang Kristen masuk Islam, Kristen masuk Hindu dan Islam masuk Budha. Ada saja kan?" Sambungnya.
"Betul, kenapa demikian?"
"Karena tidak ada sosok, selain keyakinan (iman) dalam diri. Apakah umat Kristen pernah bertemu Kristus secara langsung? Bertatap muka gitu? Apakah Muslim pun pernah melihat Tuhannya secara langsung? Belum ada kan?"
"Karena manusia hidup di alam realita, hanya dengan keimanan yang hakiki yang bisa meyakinkan mereka secara utuh. Otak, secara naluri akan cenderung "merasa" dari apa yang mereka lihat, seperti melihat Jokowi, Prabowo ataupun bubur ayam"
"Membangun realitas lebih mudah. Itulah kenapa dalam 4 tahun seorang Cebong garis keras sulit pindah menjadi Kampret, begitupula bubur ayam. Tapi dalam 4 tahun itu bisa jadi dia berpindah agama. Tapi ya tidak sesederhana itu, meski ada saja.." Ujar blio menutup perbincangan.
Saya kagum, dari seonggok bubur ayam yang remeh, ternyata dari cara makannya mengandung filosofi manusia yang kompleks.
Dan di pagi yang lain, saya kembali menyempatkan makan bubur disebuah rumah makan yang oriental, di Balikpapan. Saya memesan bubur ikan dan Joni, teman saya memesan bubur ayam.
Datanglah bubur ayam Joni, berwarna putih bersih. Terlihat irisan cakwe mantul-mantul dari dalam bubur.
"Lho, ayamnya mana mbak" Tanya Joni ndeso.