Untuk itu diperlukan kenekatan berekspresi, ke-luarbiasaan kita dalam bertindak. Kemauan kita untuk melihat kedalam, tanpa hierarki.
Sehingga penikmat bubur ayam campur adalah manusia dengan keleluasaan berpikir dan bekerja, cuek, spontan sekaligus tegas. Karena bagi mereka, rasa adalah segalanya.
Sinergi
Setelah pada kesimpulan yang teramat filosofis ini, saya sampai pada pertanyaan, bisakah dua tipe manusia ini bisa bersinergi? Bisakah dari mereka masing-masing saling "bertukar tempat"?
"Kamu tahu kampret dan cebong?" Tanya blio.
Pertanyaan yang tak perlu saya jawab. Saya cukup merenung, mencerna jawaban.
"Kampret" dan "Cebong" dua istilah yang akan masuk kedalam kamus legenda bahasa, adalah dua hal yang musykil untuk saling bertukar posisi. Mereka memiliki prinsipnya sendiri. Berdiri atas dasar "sosok".
Bahkan mereka saling klaim bahwa mereka punya "rasa" atas pilihannya, menjadi Kampret atau Cebong.
Seburuk-buruknya kampret, sekampret-kampretnya cebong, tidak akan bisa menukar posisi mereka. Setidaknya untuk saat ini. Tapi bukan berarti mustahil.
Karena toh saya sebagai pengikut mahzab bubur ayam campur pernah makan bubur ayam pisah meskipun rasanya aneh. Ada manisnya sendiri, ada rasa asin kaldu sendiri, ada pedas, ada gurih ayam sendiri, tidak kompak.
Mungkin, tapi dibutuhkan kerja yang extra keras. Kenapa demikian?