Beberapa bulan lalu, saya mampir ke India, tepatnya di Kanpur, distrik Uttar Pradesh, 6 jam dari Delhi via darat. Untuk visit satu pabrik yang menyediakan peralatan pabrik gula. Bayangkan pabrik gula pun kita harus jauh ke India.
Padahal tebu konon paling subur tumbuh di Indonesia, tepatnya di Lampung, disana tebu memiliki nilai rendemen 8,34%. Artinya setiap 100 kg tebu bisa menghasilkan 8,34 kg gula.
Tapi di India, nilai rendemen mencapai 11%, di Thailand lebih gila lagi, nilai rendemen gula bisa mencapai 14%. Bukan soal kualitas tebunya, tapi teknologinya lebih optimal.
Indonesia sangat punya sumber daya, tapi tidak punya teknologi. India dan Thailand, punya keduanya. Tapi saya lebih memilih India, lebih murah.
Teknologi apa memangnya? Sabar, nanti saya cerita.
Jadwal saya itu bertepatan dengan Thai Pongal, atau festival panen hasil tani di India, baik beras maupun tebu.
Saya sendiri disuguhi Pongal, nasi campur susu yang wajib ada, dimasak hingga berbuih-buih sebagai rasa wujus rasa syukur. Enak? Jujur, gak doyan.
Selepas makan siang, saya kembali ke Delhi, naik mobil sewaan, 6 jam. Sengaja karena saya ingin melihat suasana perbukitan India. Sepanjang perjalanan si supir banyak cerita soal swasembada gula yang sedang gencar gila-gilaan.
Sejak awal, Narendra Modi sang Perdana Menteri sudah menitahkan setiap pabrik gula di India menggunakan sistem Cogeneration. Dimana sampah tebu yang biasanya hanya digunakan sebagai bahan baku pembangkit listrik internal, harus bisa menghasilkan listrik yang bisa dijual ke external.
Artinya, sampah tebu harus bisa menghasilkan listrik yang besar, listriknya di jual ke PLN-nya India, tetesnya jadi Ethanol, Ethanol dijual ke pabrik, untuk yang memenuhi food grade maka akan menjadi sabun, mentega dll. Dan karena bersumber dari bahan baku yang bisa diperbarui, maka namanya menjadi Bioethanol.
Pendapatan pabrik gula meningkat. Pabrik gak perlu lagi cari untung besar dari gula. Gula menjadi murah, harganya cuma 16.13 rupee/kg atau setara 3400 rupiah per kg, tanpa subsidi, tanpa impor. Di Indonesia? 14 ribu rupiah per kg.
Si supir terus bercerita, tujuan selanjutnya: Ekspor. Ke mana target ekspor? Indonesia, jawabnya yakin. Saya yang sedang makan kebab, keselek.
Saya ingat prinsip George Soros, tokoh yang menggetarkan Bank Of England akibat aksi shortselling-nya di tahun 1992, pernah berkata bahwa pasar selalu mencari titik keseimbangannya.
Maka siapa yang bisa mendapat keseimbangan itu, dialah yang paling tenang, ujung-ujungnya cuan.
India membuktikannya. Mereka fokus ambil untung dari jual listrik yang bahan bakunya dari tebu, dan tidak mengambil untung besar dari gula sehingga rakyat tak terbebani.
Keseimbangan ekonomi pada gula terjadi. Swasembada gula tercapai. Harga listrik pun tak perlu naik, karena suplai justru bertambah. Keuntungan lain, India banyak membangun pabrik peralatan gula yang hasil produk maupun teknologinya bisa dijual ke luar.
Memori saya menerawang ke beberapa era yang lalu.
Gula pernah menjadi andalan ekspor zaman Hindia-Belanda, tapi entah kenapa sejak zaman orde baru, kita justru menjadi importir nomor wahid gula. Proyek revitalisasi pabrik hanya wacana, hingga akhir 2014, meskipun sudah ada Permenperind No. 50 tahun 2012.
Niat ada, tindakan yang belum ada, eh ada sebetulnya, tapi malah jadi temuan korupsi pada 2013.
Dan akhirnya angin segar berhembus ketika Presiden Jokowi berencana membangun 10 pabrik gula baru termasuk revitalisasi. Â
Revitalisasi pun berjalan; PG Mojo di Sragen, PG Rendeng di Kudus, PG Asembagoes, PG Gempolkrep di Mojokerto dan empat pabrik gula lainnya. Demi swasembada gula. Meskipun pemerintah akan menghadapi kendala lain; lahan tebu. Tapi pembuktian pemerintah patut diacungi jempol.
Tapi 2017 akhir, Presiden menitahkan beberapa pabrik gula Indonesia melakukan hal yang sama dengan India, Pabrik gula jangan cuma jualan gula, tapi juga jualan listrik dan turunan gula/bioethanol. Pabrik gula juga harus bisa mengolah produk setengah jadi, menjadi gula. Semangat yang luar biasa.
Saya pun ikutan bersemangat, beberapa proyek revitalisasi pabrik gula di pulau Jawa di tunda, alasannya belum mendukung Cogeneration & Bioethanol, hanya meningkatkan kapasitas.
Medio 2018, dengan konsep yang diperbarui, proyek pun di jalankan kembali, tapi dengan syarat tambahan: Harus didukung technology provider.
Menarik, technology provider adalah perusahaan penyedia teknologi yang bisa menjamin teknologi yang dipakai sesuai harapan. Perusahaan tersebut tentu harus canggih, Indonesia punya perusahaan yang mumpuni, baik BUMN maupun swasta, ah aman, pikir saya.
Tapi ternyata saya salah, technology provider ditetapkan dari dua negara. Dari Thailand dan dari India. Tidak ada satupun dari negeri sendiri. Potensinya adalah pemakaian produk dalam negeri (TKDN) akan berkurang. Opini saya, instruksi Presiden diterjemahkan agak lain oleh beberapa pihak. Dengan alasan, Indonesia belum mampu. Entahlah...
So, Dari situlah, berujung saya harus berbagi cerita dengan supir taksi Tamil yang ramah ini.
"Haduh boss...ternyata, yang manis-manis gak selalu rasanya manis," ujar saya.
Dia pun tertawa, memamerkan gigi samping kirinya yang bolong, sambil berkata,
"Cppialm!!!"
Kira-kira artinya.."Makan tuh!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H