Si supir terus bercerita, tujuan selanjutnya: Ekspor. Ke mana target ekspor? Indonesia, jawabnya yakin. Saya yang sedang makan kebab, keselek.
Saya ingat prinsip George Soros, tokoh yang menggetarkan Bank Of England akibat aksi shortselling-nya di tahun 1992, pernah berkata bahwa pasar selalu mencari titik keseimbangannya.
Maka siapa yang bisa mendapat keseimbangan itu, dialah yang paling tenang, ujung-ujungnya cuan.
India membuktikannya. Mereka fokus ambil untung dari jual listrik yang bahan bakunya dari tebu, dan tidak mengambil untung besar dari gula sehingga rakyat tak terbebani.
Keseimbangan ekonomi pada gula terjadi. Swasembada gula tercapai. Harga listrik pun tak perlu naik, karena suplai justru bertambah. Keuntungan lain, India banyak membangun pabrik peralatan gula yang hasil produk maupun teknologinya bisa dijual ke luar.
Memori saya menerawang ke beberapa era yang lalu.
Gula pernah menjadi andalan ekspor zaman Hindia-Belanda, tapi entah kenapa sejak zaman orde baru, kita justru menjadi importir nomor wahid gula. Proyek revitalisasi pabrik hanya wacana, hingga akhir 2014, meskipun sudah ada Permenperind No. 50 tahun 2012.
Niat ada, tindakan yang belum ada, eh ada sebetulnya, tapi malah jadi temuan korupsi pada 2013.
Dan akhirnya angin segar berhembus ketika Presiden Jokowi berencana membangun 10 pabrik gula baru termasuk revitalisasi. Â
Revitalisasi pun berjalan; PG Mojo di Sragen, PG Rendeng di Kudus, PG Asembagoes, PG Gempolkrep di Mojokerto dan empat pabrik gula lainnya. Demi swasembada gula. Meskipun pemerintah akan menghadapi kendala lain; lahan tebu. Tapi pembuktian pemerintah patut diacungi jempol.
Tapi 2017 akhir, Presiden menitahkan beberapa pabrik gula Indonesia melakukan hal yang sama dengan India, Pabrik gula jangan cuma jualan gula, tapi juga jualan listrik dan turunan gula/bioethanol. Pabrik gula juga harus bisa mengolah produk setengah jadi, menjadi gula. Semangat yang luar biasa.