Lalu bagaimana mengukur indikator happiness index itu? Menurut Anies ada 33 indikator pengukur indeks kebahagiaan, dan nilai Jakarta saat ini adalah 68 dari 100. Sebetulnya indeks pengukuran ini sangatlah subjektif, dan tidak terlepas dari GDP kota itu sendiri, lagipula di situs resmi BPS Jakarta, BPS hanya mengambil sampel 1,129 rumah tangga, sangat jauh dari jumlah rumah tangga di Jakarta yang sebesar 131,653 kepala rumah tangga.
Saya sendiri paham jika pun Anies tidak bisa menjelaskan secara terperinci, tentulah karena belio bukan Petahana, tetapi usaha keras Anies untuk membuat program yang terukur dengan fakta lapangan patut di apresiasi, ini sekali lagi tergantung dari luasnya pengetahuan sang pemapar.
Plus Sandiaga Uno yang cekatan menjawab pertanyaan dari Co-founder efishery, M Ihsan tentang keterlibatan pemerintah di dalam menjembatani UMKM perikanan yang berbasis digital dan dikaitkan misi mengapa paslon Anies-Sandi menolak reklamasi.
Di situ Sandi mengatakan sudah berbicara dengan Menteri Susi Pudjiasturi, sudah mendapat data riil dan akan take action dengan menggandeng startup digital yang fokus pada UMKM, ini langkah yang konkrit dan bisa diaplikasikan mengingat background & link Sandiaga ketika menjadi pengusaha. Hmm..nice one.
Kesempatan terakhir ada pada Agus Yudhoyono, mohon maaf jika saya harus menyebut pemaparan Agus sedikit njomplang dengan dua calon sebelumnya. Satu hal saja, Agus memakai powerpoint untuk pemaparan.
Toh pun jika memakai powerpoint, sebaiknya hanya berisi satu kalimat per slide yang menggambarkan isi pemaparan, detailnya ya si pemapar yang menjelaskan, contoh keren di sini adalah Steve Jobs.
Tapi okelah, Agus sudah berusaha keras menjelaskan tentang Jakarta Smart City, Jakarta yang terintegrasi dan memiliki akses digital (a.k.a koneksi internet ) di tempat umum dengan baik. Termasuk membuat "Kedai Jakarta" di sudut kota Jakarta yang tujuannya sebagai fasilitator kegiatan seni budaya.
Di sisi ini saya berpikir oke juga, cukup kreatif tapi ya itu tadi, AHY di depan panggung bukan sebagai tokoh kesenian nasional, tapi sebagai calon gubernur yang mengurusi aspek birokrasi, legal dan eksekusi. Sehingga lagi-lagi kembali ke "langkah kongkritnya apa". Itu yang belum saya temukan. AHY masih berkutat di sisi normatif dan text book.
Saya tidak ingin mengomentari idenya ber-mannequin challange di akhir acara karena jadi gubernur bukan ajang bersenang-senang ala abege, kreatif di sini tentu tetap harus bermakna.
Nah, pilihan kembali ke masing-masing, semua ada plus dan minusnya, tinggal bagaimana Anda, para pemilih yang ber-KTP DKI Jakarta untuk memilih yang plusnya paling banyak dengan minus (daya rusak) yang paling minimal.