Sebelum menghadiri acara "Kumpul Masyarakat Kreatif, Digital dan Perfilman" kemarin (14/1 yang diadakan oleh Bukalapak dan Selasar, di pikiran saya cuma satu, para calon gubernur DKI yang diundang akan memaparkan tentang hal yang sebetulnya sudah jelas, sudah semestinya, tinggal bagaimana aplikasinya. Jadi ini unjuk gigi soal siapa yang paling siap untuk mengaplikasi. Bukan lagi bicara soal ide yang retorik.
Jakarta menjadi smart city, ya sudah seharusnya. Jakarta memiliki sistem yang terintegrasi, ya sudah jelas harus donk. Jakarta punya infrastruktur digital yang top sekelas Singapura, ya ini ide lama. Jakarta sebagai kiblat fashion Asia, punya major tourist attraction seperti Merlion Park ataupun Champ De Mars sih seharusnya sudah bukan wacana.
Jadi semua itu sudah bukan ide lagi, sudah tidak seharusnya membahas ide, tapi membahas sejauh mana tingkat kesiapan aplikasi dari ide tersebut. Ini yang saya harus lihat dari ketiga pasangan calon.
Kebetulan calon nomor 2, Pak Basuki atau Ahok mendapat giliran pertama. Seperti biasa dengan gayanya yang khas, Ahok menjelaskan visi misi Jakarta dalam 5 tahun kedepan. Secara teknis dan dengan penguasaan data yang baik, Ahok seperti selalu biasa menguasai panggung.

Ahok juga menyoroti aplikasi Qlue, di mana dengan aplikasi itu sebetulnya ide Jakarta Smart City sudah berjalan. Kendalanya ya tentu saja para pimpinan daerah RT/RW dan Kecamatan yang masih gaptek dan ogah untuk berhijrah ke arah digital.
Misi Ahok-Djarot ke depan adalah rencana penggunaan kota tua ataupun balai kota sebagai pusat pemutaran film-film Indie dan juga film Indonesia lainnya dan bahkan bisa dipakai untuk pembuatan film itu sendiri. Riilnya bagaimana? Kantor balai kota sudah dibuka untuk itu semua, with no cost.
Bahkan ide ke depannya lebih gila lagi. Ahok menantang PFN (Produksi Film Negara) bisa enggak memakai tanah PFN sebesar 2.4 hektar di Otista sebagai pusat kreatif dan perfilman di mana ada bioskop-bioskop kecil di sana dengan dana pembangunannya dari Pemda DKI? Wow.
Yang menarik adalah ketika Ahok ditantang oleh Diajeng, CEO hijup.com untuk mengaplikasikan ide Jakarta memiliki distrik fashion dan hijab muslimah. Termasuk juga menjadikan co-working space tadi sebagai tourist attraction.
Di sini saya penasaran apa jawaban Ahok dan ternyata, belio pun sudah menjalankan proyek itu dengan menggandeng Dekranasda dan Jakarta Fashion Week di mana Waduk Kebon Melati akan di jadikan sebagai pusat turis nantinya, memanfaatkan Tanahabang sebagai pusat hijab Indonesia, plus ditambah akses bus tingkat gratis yang berputar dari Bundaran HI hingga Museum Tekstil yang 6-7 bulan lagi di perkirakan selesai proyeknya.

Masuk sesi kedua adalah sesinya Anies Baswedan, belio tampil dengan pasangannya, Sandiaga Uno. Tampil tenang, percaya diri dan tanpa teks tentunya, sosok Anies yang kalem dan matang seakan menyatakan belio siap menerima tantangan.

Ide ini sebetulnya sama dengan yang lakukan Ahok di pemerintahan sekarang, karena tidak mungkin Pemda bergerak dalam bidang kreatif tanpa masukan dari pelaku industri itu sendiri, karena industri ini unik, tidak semua orang punya sense of art yang baik. Sehingga apapun ide Ahok dan Anies ya sama saja, memang seharusnya begitu.
Juga ide Anies untuk menggunakan gedung-gedung milik Pemda sebagai media yang bisa dipakai untuk produksi film, teater dan kesenian lainnya, seperti Esplanade di Singapura. Ini pun sebetulnya sudah diungkapkan Ahok di pemaparan awal.
Termasuk penggunaan APBD di dalam realisasi, di sini Anies tidak mau kalah dengan Ahok, cukup seru melihat bagaimana Anies berusaha sedemikian keras memaparkan rencana realisasi dengan detail sedemikian rupa, bahkan secara spontan Anies menyinggung sistem akustik di gedung Soehanna Hall (tempat acara) adalah sistem akustik terbaik, dan berencana membawa para engineer dan pekerja Soehanna Hall ke Gd Kemendikbud lt 6 yang akan digunakan sebagai "Esplanade"nya Jakarta.
Sebetulnya saya jadi ingat Gedung Kesenian Jakarta di Jl. Pasar Baru, kebetulan saya sendiri pernah menggunakan gedung itu untuk paduan suara tingkat mahasiswa. Sistem akustiknya sangat bagus, dan didesain memang untuk pertunjukan. Kekurangan gedung itu dua, kurang luas dan desain klasik gedung tersebut tidak dirawat dengan baik.
Jika itu saja dimaksimalkan, diremajakan, diperluas dengan mempertahankan desain klasiknya. kita sudah punya "new esplanade" Jakarta. Atau gedung konser kelas dunia Aula Simfonia yang berada di daerah Kemayoran. Itu canggih banget lho.
Lelah sekali kita untuk membuat "new esplanade" yang "nebeng" dengan gedung Kemendikbud.

Saya setuju ini, Jakarta seharusnya bisa menjadi barometer keragaman Indonesia, Jakarta adalah ibu kota. Cuma masalahnya sekarang, apakah infrastruktur Jakarta sudah siap untuk menerima lonjakan wisatawan, jika benar ide itu diterapkan? Itu pertanyaan yang didasarkan pada fakta.
Oh ya, ada hal menarik yang ditanyakan oleh COO Bukalapak Willix Halim yang mempertanyakan bagaimana mengukur kinerja atau KPI pemerintahan. Atau dengan kata lain, bagaimana seorang gubernur mengukur kinerjanya sendiri? Dijawab oleh Anies dengan mengedepankan indeks kebahagiaan atau happiness index.
Lalu bagaimana mengukur indikator happiness index itu? Menurut Anies ada 33 indikator pengukur indeks kebahagiaan, dan nilai Jakarta saat ini adalah 68 dari 100. Sebetulnya indeks pengukuran ini sangatlah subjektif, dan tidak terlepas dari GDP kota itu sendiri, lagipula di situs resmi BPS Jakarta, BPS hanya mengambil sampel 1,129 rumah tangga, sangat jauh dari jumlah rumah tangga di Jakarta yang sebesar 131,653 kepala rumah tangga.
Saya sendiri paham jika pun Anies tidak bisa menjelaskan secara terperinci, tentulah karena belio bukan Petahana, tetapi usaha keras Anies untuk membuat program yang terukur dengan fakta lapangan patut di apresiasi, ini sekali lagi tergantung dari luasnya pengetahuan sang pemapar.
Plus Sandiaga Uno yang cekatan menjawab pertanyaan dari Co-founder efishery, M Ihsan tentang keterlibatan pemerintah di dalam menjembatani UMKM perikanan yang berbasis digital dan dikaitkan misi mengapa paslon Anies-Sandi menolak reklamasi.
Di situ Sandi mengatakan sudah berbicara dengan Menteri Susi Pudjiasturi, sudah mendapat data riil dan akan take action dengan menggandeng startup digital yang fokus pada UMKM, ini langkah yang konkrit dan bisa diaplikasikan mengingat background & link Sandiaga ketika menjadi pengusaha. Hmm..nice one.
Kesempatan terakhir ada pada Agus Yudhoyono, mohon maaf jika saya harus menyebut pemaparan Agus sedikit njomplang dengan dua calon sebelumnya. Satu hal saja, Agus memakai powerpoint untuk pemaparan.

Toh pun jika memakai powerpoint, sebaiknya hanya berisi satu kalimat per slide yang menggambarkan isi pemaparan, detailnya ya si pemapar yang menjelaskan, contoh keren di sini adalah Steve Jobs.
Tapi okelah, Agus sudah berusaha keras menjelaskan tentang Jakarta Smart City, Jakarta yang terintegrasi dan memiliki akses digital (a.k.a koneksi internet ) di tempat umum dengan baik. Termasuk membuat "Kedai Jakarta" di sudut kota Jakarta yang tujuannya sebagai fasilitator kegiatan seni budaya.
Di sisi ini saya berpikir oke juga, cukup kreatif tapi ya itu tadi, AHY di depan panggung bukan sebagai tokoh kesenian nasional, tapi sebagai calon gubernur yang mengurusi aspek birokrasi, legal dan eksekusi. Sehingga lagi-lagi kembali ke "langkah kongkritnya apa". Itu yang belum saya temukan. AHY masih berkutat di sisi normatif dan text book.
Saya tidak ingin mengomentari idenya ber-mannequin challange di akhir acara karena jadi gubernur bukan ajang bersenang-senang ala abege, kreatif di sini tentu tetap harus bermakna.
Nah, pilihan kembali ke masing-masing, semua ada plus dan minusnya, tinggal bagaimana Anda, para pemilih yang ber-KTP DKI Jakarta untuk memilih yang plusnya paling banyak dengan minus (daya rusak) yang paling minimal.
Pilihan adalah milikmu!
***
Artikel juga ditulis di blog pribadi di sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI