Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan

28 Agustus 2016   20:14 Diperbarui: 13 Juni 2017   22:44 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa SD: Sejumlah siswa SD memegang kreweng usai memainkannya dengan digesek-gesekan di Ceramic Music Festival 2015, di lapangan Jatiwangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Rabu petang (11/11/2015).(KOMPAS.com / MUHAMAD SYAHRI ROMDHON)

Dear Pak Menteri yang terhormat,

Mohon maaf jika mengganggu jam istirahat Bapak. Kami tahu bahwa Bapak sedang beristirahat dari kejenuhan lini media sosial yang terus-menerus mendera Bapak akibat usulan Bapak soal full day school itu. Dan Bapak saat ini mungkin merasa sedikit lega karena bombardir soal pendidikan sudah banyak mereda akibat booming-nya berita soal rekan Bapak, Pak Arcandra Tahar yang cuma menjabat 20 hari sebagai menteri ESDM, populernya pokemon, berita sok tahu naiknya harga rokok dan tentunya dinobatkannya Mukidi sebagai artis papan atas.

Tapi bisa saya pastikan, bahwa belum saatnya Bapak leyeh-leyeh lho, bukan nakut-nakutin tapi kami tidak lupa akan ide brilian Bapak soal full day school. Tidak, justru dengan surat ini, saya, sebagai wakil orangtua murid dan beserta rekan-rekan yang lain mendukung penuh usulan Bapak itu.

Mungkin Bapak heran dan lantas bertanya, lho kok?

Begini Bapak, usulan Bapak itu adalah usulan yang sungguhlah brilian. Bapak seperti mengakomodasi keinginan terdalam kami, kami yang teriak menolak usulan Bapak sejatinya mendukung penuh, tapi karena kami takut dianggap tidak setia, lalu lantas di-unfriend dari socmed sehingga kami pun ikut-ikutan menolak.

Apalagi rekan-rekan Mukidi dari tokoh pendidikan hingga artis dan sosialita heits papan atas semua kompak menolak usul Bapak. Yah mau gimana lagi.... Jadilah kami ini sebagai followers sejati, mau gak mau ya ngikut soal menolak tadi tho Pak, tanda tangan petisi, padahal....

Padahal kami setuju. Nih, pertama ya Pak, bayangkan apabila anak kami nanti sekolah seharian penuh, istri kami yang di rumah bisa menikmati me time-nya setiap hari, setiap hari coba Pak. Me time itu Pak, menurut penelitian kekinian ditengarai bisa mereduksi tingkat stres hingga 100%. Nah....

Setelah pagi hari melakukan kegiatan rutin, para wanita bisa menyibukkan diri dengan membaca parenting, punya waktu memasak untuk suami tercinta berbekal tasty-nya fesbuk, meni-pedi, lulur coklat, yoga dan lain-lain, dan tentunya acara bobok siang yang tidak akan lagi terganggu oleh celotehan anak. 

Hasilnya? Pikiran bisa fresh dan kami, para suami, bisa terbebas dari polarisasi stres akut para istri yang dipaparkan secara vulgar ketika kami pulang kantor. Nah, kami yakin Anda juga bagian dari kami wahai Pak Menteri sehingga tentulah usul itu sudah dipikirkan secara masak.

Yang kedua Pak Menteri, memangnya kami ini peduli dengan anak Pak? Ya bisa dibilang setengah peduli, setengah enggak. Nah, Anda jangan kaget dulu, setengahnya kami ini memang enggak peduli kok. Kami lebih suka anak kami bermain gadget seharian penuh ketimbang lari-lari atau main petak umpet dengan kami, orang tuanya.

Ndak usah ditanya kenapa, yang pasti kami capek pak, kami lelah, dari Senin sampai Jumat, malah keseringan hari Sabtu pun kami ada di kantor, ya untuk cari duit, cari yang katanya sesuap nasi, padahal kami begitu mati-matian agar HRV baru bisa nongkrong di garasi ketimbang mikir sisa akhir bulan.

Lho bener ini Pak. Nah, coba bayangkan kalau anak sudah pulang sejak siang lalu malamnya ngajak lari-lari? Waduh, mending kami pulang subuh sekalian. Sore hari, orang rumah juga pasti cari jalan pintas, gampang, kasih gadget! Jadilah dari siang/sore sampai malam anak kami ber-gadget Pak, supaya anteng. Kami toh merasa lebih aman kalau anak kami bersama pokemon ketimbang bersama manusia. Ya, me-manusia-kan pokemon di dalam rumah ternyata menyenangkan lho Pak.

Nah kan katanya gadget jelek buat perkembangan anak, jadi ya mending mereka seharian di sekolah saja kan Pak. Jadi, pas saya pulang kantor mereka pun sudah capek, acara lari-lari dan petak umpet bisa diubah menjadi acara bobok bersama, alangkah indahnya.

Yang ketiga Pak, sebagian dari kami yang menolak, beralasan bahwa nanti waktu orang tua dan anak menjadi berkurang, lho... lho... waktu yang mana coba, Pak? 

Nih ya, waktu kita berangkat ke kantor, anak juga berangkat ke sekolah. Waktu anak pulang siang hari, kami tentu masih di kantor. Anak tidur, tak jarang kami pun masih di kantor, dua-duanya. Shalat bersama bapak-ibu? Walah. Malah sebagian yang wirausaha masih berkutat dengan dagangan di hape sampai malam, lha ya online shop dong Pak, ah bapak ini.

Nah, coba Pak kalau followers kita sudah ratusan ribu atau jutaan, berapa order masuk setiap harinya coba? Mana bisa ngecek anak kami, ngerekap order aja masih suka belepotan tho Pak, meskipun sudah dibantu admin. Nah, dengan ide bapak itu, kami yang wiraswata sangatlah terbantu Pak.

Yang keempat Pak, preketek itu soal parenting. Toh kalau weekend kami ini kepinginnya ya we-time, waktu untuk kami berdua, saya dengan istri gitu lho Pak. Lho terus anak gimana? Tenang, anak kami ada di pundak baby sitter yang siap sedia bak pengawal Firaun. Baby sitter itu mesias lho Pak, penolong kami. Bahkan mereka bisa lebih tahu jumlah dan letak tahi lalat anak kami ketimbang kami sendiri. Apa mereka gak hebat coba Pak? Jadikan mereka pahlawan nasional, kami pasti setuju.

Jadi Pak, dengan argumen-argumen yang sudah saya paparkan, kami mohon kiranya agar Bapak konsisten dengan ide Bapak. Biarkan saja sekolah full day. Bahkan anak kami jelas lebih terlindungi dari asap rokok ketimbang mereka di rumah yang belum tentu bebas dari debu dan asap rokok bapaknya sendiri. Biarkan saja sekolah full day, toh bisnis dan usaha kami sudah jauh mengambil porsi di dalam otak kami ketimbang pertanyaan anak kami berapa hasil 7 x 6, atau hapalan surat pendek. 

Biarkan saja sekolah full day, toh kami cuma bisa berucap, "Ih, kok gitu," ketika kami melihat instagram @awkaxxn dan keluarga cemaranya Kadarshian, namun tak tahu harus berbuat apa.

Biarkan saja sekolah full day, toh kami lebih sibuk berdebat di fesbuk soal politik ketimbang melirik PR anak kami. 

Biarkan saja sekolah full day, toh anak pulang siang dengan pulang sore/malam sama saja. Si bibik masih lebih tahu kalau telur dadar kesukaan anak kami itu ternyata pakai daun bawang, bukan pakai tomat.

So, jangan minder soal pendahulu Bapak yang katanya lebih charming itu. Ah itu kan bisa-bisanya mamah muda saja. Kami para bapak ya gak peduli. Yang penting bagaimana aksi Bapak ke depan. Dan ide Bapak itu, tentulah kami dukung karena kami para orangtua nyatanya memang menikmati program full day school itu kok. Gaya-gayaan saja kami menolak, agar kami dibilang peduli anak, ah.

Bahkan kami tidak berkaca sebelum membuat petisi. Silakan kembalikan mereka ke sekolah, didik mereka menjadi orang besar yang bukan hanya pandai, tapi berguna, jujur dan amanah, bagi Indonesia, semoga. 

Me time dulu ya Pak, cheers..

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun