Dulu, ketika almarhum eyang kakung masih ada, saya cilik bersama keluarga pasti menjalani ritual mudik ke Solo. Eyang kakung, yang berada di Solo kebetulan adalah seorang imam masjid di desa kami, cukup disegani beliau disana.
Saya senang jika sampai di Solo hari masih puasa, yah kira-kira H-3 atau H-4 lebaran, karena kita bisa menikmati indahnya puasa di desa, terutama mengikuti ritme ibadah eyang yang hampir non stop untuk masjid. Ada semangat yang di bawanya, yang membuat saya gembira kalau bisa duduk persis dibelakang beliau yang bertindak sebagai imam.
Tapi yang paling berkesan, saya bisa bertanya apapun menyangkut ibadah, menyangkut sholat, ngaji, haji hingga pertanyaan sepele soal kenapa babi itu haram dan asyiknya eyang tidak pernah menolak untuk menjawab.
Dan suatu hari selepas ikut sholat subuh, saya cilik bertanya,Â
"Eyang, kenapa disebelahku tadi habis rukuk dia baca doa?"
"Oh, itu namanya qunut" Jawabnya. "kenapa eyang enggak?" Tanyaku lagi.
"Ndak papa, ada yang qunut, ada yang enggak, dua-dauanya baik, yang jelek itu kalo kamu ndak sholat"
Selepas taraweh pun saya kembali bertanya.
"Eyang disini kok sholatnya 11 rakaat? Kalo di Jogja aku sholat 21 rakaat, kok beda eyang?"
"Ndak papa, karena disini banyak yang sudah tua, kayak eyang ini, jadi lututnya agak sakit kalau lama, sama saja, semua itu baik, yang jelek itu kalau kamu ndak taraweh"
Pesan eyang selalu menancap di kepala saya hingga kini, semua ibadah itu baik, pun semua orang dan golongan itu baik. Mereka tidak baik apabila mereka tidak menjalankan syariat, berbuat onar, jahat dan lalim. Jadi perbedaan bukanlah pembatas kita baik atau buruk.
"Nanti lebaran, kita ikut siapa eyang? Muhammadiyah atau pemerintah?" Tanya saya selepas sahur.
"Sebaiknya pemerintah" Jawab eyang, kali ini agak berbeda dari gaya biasanya.
"Kenapa?"
"Ya, karena mereka yang pimpin negara ini, bukan Muhammadiyah, bukan NU, tapi dua-duanya baik, mereka ndak jelek, cuma kalau untuk nasional, ya kita ikut pemerintah, Insyallah suatu saat nanti kita bareng-bareng lebarannya"
Saya ingat betul, meskipun beliau amat menghargai perbedaan dan menghindari konflik, tetapi dalam hatinya, tetap bersatu padu adalah impiannya, karena di desa itupun terbagi dua hari lebaran. Muhammadiyah sholat terlebih dahulu di lapangan yang sama dengan yang lebaran ikut pemerintah esok harinya.
Apa rasanya satu desa tapi berbeda begitu? Padahal mereka selalu shalat Taraweh dan shalat Subuh dengan imam yang sama? Sungguh sangat tidak enak.
Pun demikian dengan yang saya rasakan ketika mendengar Menteri Agama Lukman hakim Syaifuddin kemarin selepas berbuka puasa di televisi, tentang penentuan Idul Fitri 2016 / 1437 H jatuh di hari Rabu 6 Juli 2016.
Ada yang istimewa, di tahun ini kita berlebaran bersama-sama dengan Muhammadiyah yang biasanya merayakan hari raya 1 hari sebelum hari yang ditetapkan pemerintah. Saya merasakan kelegaan.
Ada yang menyentuh saya ketika mendengar KH Ma'aruf Amin, ketua MUI berucap syukur bahwa tahun ini kita berlebaran bersama-sama. Ada terbersit luapan kegembiraan pada MUI disana, kegembiraan yang menggambarkan, betapa mahalnya harga sebuah persatuan di negara kita, hanya untuk berhari raya.
Dari sini saya lantas membayangkan, apabila kedepannya semua hal soal agama mengacu kepada pemerintah, terutama hari raya. Dimana mereka tentu memiliki tim yang jelas mumpuni untuk menentukan sidang isbat, yang tentu bukan hanya dari satu pihak, tapi dari beragam elemen dan ormas islam nasional. Tentu yang dihasilkan pun bukan sembarang keputusan.
Pemerintah akan menjadi pemersatu agama mayoritas ini, dan MUI akan menjadi sentral. Saya yang biasanya suka sinis pada MUI dan pemerintah, kali ini angkat topi, saya betul-betul menghargai usaha pemersatu umat disini.
Sikap pemerintah yang 'mengalah' dengan memajukan sidang isbat, demi menyelaraskan dengan Muhammadiyah harus kita betul-betul apresiasi. Dan jika ternyata lebarannya di hari Rabu, yasudah, itulah keputusan pemerintah, itulah ijtihad ulama hasil dari usaha mereka bersama. Kita yang awam, yang paling baik adalah mengikuti, selama itu baik.
Yang tidak baik apabila kita tidak puasa, kita tidak sholat, kita tidak berzakat dan kita justru tidur waktu sholat ied, sedangkan malam sebelumnya kita habis energi sibuk mendebat keputusan ulama di facebook.
Selamat mudik dan salam NKRI
#PrayForMadinah #PrayForBaghdadÂ
#SelamatIdulFitri #1437H #MohonMaafLahirBatin
***
Tulisan dimuat juga di blog pribadi DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H