Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

DPR: Incumbent Harus Mundur, Sebuah Komedi Baru dari Senayan

31 Mei 2016   22:02 Diperbarui: 1 Juni 2016   09:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.bali.tribunnews.com

Penulis ingat ketika masih SMA dulu pernah berurusan dengan guru bimbingan konseling (BK). Memang bukan yang kali pertama, mungkin sudah yang ke-10 kali. Tapi ini yang paling membekas, karena apa? Karena ketika itu penulis bukan dalam posisi pelaku langsung.

Ceritanya begini, ketika itu terjadi kasus penggelapan uang buku tahunan yang dilakukan oleh salah seorang teman kami. Hampir 14 juta ketika itu uang lenyap dan si pelaku baru tertangkap dua tahun kemudian ketika kami sudah kuliah. Menghadapi kasus itu, para guru meminta teman saya, sebut saja Imran, untuk mundur dari ketua panitia buku tahunan dan harus membuat laporan kepolisian.

Yang lucu, Imran yang tidak terima ketika itu, meminta kepada para guru agar penulis pun harus ikut mundur dari wakil ketua OSIS, karena penulis yang pada waktu itu membuat usulan pendanaan ketika rapat di awal. Setelah itu, penulis tidak punya kaitan apa-apa lagi dengan buku tahunan.

Geli sekali jika mengingat masa itu, karena Imran, si ketua buku tahunan seperti mencari teman kesedihan atau partner in sorrow. Bukan masalah mundur dari OSIS atau tidaknya, yang lucu adalah sikap kita, sebagai remaja yang masih labil dan belum siap dalam menghadapi kasus pada waktu itu. Buntut-buntutnya adalah mencari “kawan” untuk sekedar berbagi nasib, enak aja.

Eh, kok sekarang terulang lagi, bukan penulis sebagai partner in sorrow, tetapi melihat kelakukan anggota DPR yang protes, mencari teman berbagi sedih ketika keputusan MK soal mereka yang harus mundur ketika ingin mencalonkan diri menjadi pejabat pemerintah, dalam hal ini ya tentu saja, nyalon gubernur.

Karena tidak terima, DPR pun turut meminta supaya incumbent juga harus mundur ketika ingin mencalonkan diri. Ini lucu sekali, sumpah lucu, dan nikmat sekali karena tidak perlu alis berkerut untuk menerjemahkan arti lucu seperti menonton stand up comedy.

Di sini kita bebas tertawa, ini komedi satire kelas rendah. Ketika MK mengetuk palu soal anggota DPR yang harus mundur ketika ingin mencalonkan diri pada putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, mereka (para anggota DPR ini) pun berdiri seraya berteriak, “Eh, incumbent juga donk, masak kita doang, gak adil itu... kalau perlu semuanya mundur…rakyat pun harus mundur jadi rakyat kalau mau nyalon RT/RW! Jangan kita aja dong!” Begitulah kira-kira.

Incumbent governor, bahasa mudahnya gubernur atau pejabat publik yang masih menjabat, adalah posisi operasional dalam sebuah organisasi pemerintah. Mereka, para incumbent itu adalah pekerja publik yang memiliki tugas-tugas harian layaknya pimpinan perusahaan.

Mereka memiliki tenggat waktu kerja selama 5 tahun, kecuali mereka dipromosikan rakyat atau Presiden untuk naik jabatan, jadi menteri misalnya. Di luar dari itu, ya mereka tetap bekerja. Pilkada hanya momen, pilkada bukanlah nama jabatan, bukan. Jangan keblinger dengan istilah, termasuk istilah pemimpin.

Bahkan penulis masih bertanya-tanya apakah seorang gubernur DKI itu adalah pemimpin rakyat Jakarta? Apakah seorang gubernur Jawa Barat itu adalah pemimpin rakyat Jabar? Penulis masih beranggapan bahwa gubernur hanyalah seorang bawahan pemerintah pusat yang dikepalai oleh presiden. Tugasnya untuk memberesi segala tetek-bengek daerah, berkoordinasi, melaporkan, dan melakukan aksi nyata.

Berbeda dengan presiden yang memang mengepalai negara dan memimpin seluruh rakyat di dalamnya, gubernur adalah pemimpin pekerja administrasi dan operasional daerah. Beda pengertian pemimpin bangsa dan pemimpin administrasi daerah di sini.

Pemimpin kita ya tetap presiden, bukan yang lain. Yang dipajang di samping lambang negara burung Garuda Pancasila yang adiluhung adalah foto presiden dan wakil, bukan foto gubernur.

Jadi, jika ada demokrasi memilih gubernur langsung oleh rakyat, ini hanya menunjukkan masyarakat daerah/kota yang berhak memilih pemimpin administrasi dan operasional daerahnya sendiri. Untuk apa? Ya untuk bekerja. Rakyat dibebaskan menilai dan memilih mana orang yang bisa bekerja untuk mereka. Itu saja, sudah. Bukan seorang pemimpin yang akan menggerakkan ke mana ideologi bangsa, bukan itu.

Itu menurut penulis lho, tidak setuju ya tidak apa-apa. Toh, definisi pemimpin itu luas.

Jadi mudahnya begini. Jika ada promosi sebuah jabatan direktur di sebuah perusahaan, apakah seorang manajer yang ingin dipromosikan harus mundur dulu jadi manajer? Jadi office boy dulu misalnya sambil tunggu promosi. Lalu apakah direktur yang sedang menjabat pun harus mundur dulu selama masa penilaian? Silakan jawab sendiri.

Yang pasti operasional dan administrasi perusahaan harus tetap berjalan. Proyek harus jalan terus. Sangat berbahaya jika dalam masa penilaian para pejabat itu mundur, berapa puluh tanda tangan dalam sehari yang melibatkan bukan cuma seribu dua ribu perak? Iya kalau ada wakil mungkin masih bisa diatur, lha kalau si wakil ikut-ikutan promosi dan harus mundur juga?

Bahkan untuk kasus ini, MK pun sepatutnya tidak perlu menyuruh anggota DPR yang ingin nyagub untuk mundur, buat apa? Betul kok mereka bisa ambil cuti, dan ya kan mereka enggak sibuk-sibuk amat seperti pejabat publik tadi, kayaknya sih.

Dan seharusnya MK bisa berpikir jernih bahwa kelakuan anggota DPR itu ya masih seperti teman penulis si Imran, akan panjang masalah, mereka pasti akan mencari partner in sorrow. Pasti itu, mana mau mereka rugi sendiri, kalau enggak kepilih gimana? Masak nganggur? MK jangan jahat-jahat amat lah.

*Tulisan dimuat di blog pribadi DISINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun