Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Generasi Z, Mereka Bukanlah Zombie dengan Gadget di Tangan

28 Mei 2016   23:31 Diperbarui: 29 Mei 2016   11:49 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.bumninsight.com

Berpikir ala instan tadi tentu merembet ke pola didik yang penulis amati. Dua hal itu yang mereka tuntut pula dari dunia pendidikan, cepat, dan menyenangkan. Untuk mengakomodasi dua hal itu, muncul beragam metode pola didik, metode parenting yang diciptakan oleh para pakar pendidik kekinian.

Secara cepat, pola-pola parenting di-absorb oleh kita, sebagai orangtua generasi kekinian yang baru melek internet. Dari mulai "hindari kata 'jangan' kepada anak" sampai entah apa lagi yang berujung pada dogma "anak itu emas". Betul memang, anak itu emas. Tapi kita lupa, bahwa emas tidak dihasilkan dari tanah yang halus dan ada di permukaan. Emas didapat dari hasil penggalian tanah yang amat dalam, pengap, berbahaya, dan sulit. Jika emas itu mudah, tak mungkin polemik Freeport terus berlanjut hingga hampir satu abad.

Dari sini, penulis menghormati Ki Hajar Dewantara yang menyebut kata "Taman" di dalam taklimat "Taman Siswa", dan diperjelas oleh Anis Baswedan dalam wawancara dengan Berita Satu. Kata taman identik dengan hal yang menyenangkan sehingga seyogyanya sekolah adalah tempat yang menyenangkan, menghibur, dan sehat bagi anak-anak.

Tapi faktanya, hampir mayoritas orang-orang sukses di dunia dilahirkan tidak dalam kemudahan dan kenyamanan, pun orang-orang yang setengah sukses, mereka jatuh-bangun dalam pendidikannya semenjak SD. Hidup mereka inheren terhadap penghinaan, tuduhan idiot hingga pengusiran.

Jika mereka mengadu ketika dihukum oleh guru, justru para orang tua meminta mereka untuk memilih: tetap lanjutkan sekolah atau keluar dari sekolah dan carilah uang. Orang tua tidak menyerang sang guru, tapi justru memberi motivasi bagi sang anak. Sudah sangat terkenal kisah Thomas Alfa Edison hingga Jack Ma, ataupun yang lain.

Penulis sangat ingat cerita jaman dahulu sekolah, ketika kepergok merokok di warung, penulis bersama lima orang teman "dipajang" di tengah lapangan selepas upacara. Bukan hanya "dipajang", tetapi di dalam mulut penulis dijejali rokok kretek sebanyak 7 batang dalam satu mulut yang dibakar bersamaan, hingga mata ini berair dan paru-paru sesak. Akhirnya karena tak kuat, penulis lebih memilih berlari 50 kali putaran, hampir mati? itu pasti.

Sesampainya di rumah ayah pun bertanya mengapa mulut bau rokok, dan ceritalah soal guru yang menghukum tadi. Alih-alih bertindak terhadap guru, penulis malah kena tempeleng plus pemotongan subsidi moneter selama satu caturwulan, betul-betul tega. Tapi justru dari pemotongan subsidi itulah jiwa kreatif muncul.

Sehingga ketika membaca soal guru yang dipenjara karena mencubit muridnya, alangkah berlebihan tindakan hukum ini, bayangkan kami dulu hampir mati dan bagaimana mencari jalan supaya tetap hidup. Di sisi hukum, mungkin harus diperjelas mana tindakan yang termasuk peringatan, penganiayaan, dan kekerasan. Tapi di sisi lain (moral), justru fenomena ini membuat pertanyaan: Sudah semanjak itukah gen Z?

Penulis berkesempatan mengikuti diskusi ringan para guru di Jakarta, salah satu guru berkomentar, "Sudahlah, kita ini sudah di atas 40 tahun, mending lebih baik ikuti saja apa maunya orang tua, kita tidak perlu susah payah memikirkan mau jadi apa anak itu nantinya, daripada kita yang susah."

Pernyataan yang mengejutkan. Guru menjadi pasif, mereka mungkin bisa berubah mengikuti metode pengajaran ala gen Z tadi, tetapi pola pikir instan yang ada pada gen Z sudah termasuk berlebihan. Mereka ingin semua guru selalu tersenyum, internet selalu tersedia, gadget selalu di tangan, tutur kata selalu halus mempesona dan sempurna, pun orang tua (kita) juga berpikir demikian. Mana ada?

Guru tidak bisa lagi diharapkan menjadi pembetuk karakter tangguh sang anak. Mereka ketakutan, guru menjadi pasif. Di sisi bersamaan, orang tua (kita-kita ini) seakan menjadi pengadil yang paling berkuasa, apalagi kalau kita punya uang dan jabatan. Meskipun mengaku kekinian, jiwa penguasa tempo dulu belum bisa dilepaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun